SAMPIT – Perayaan Hari Raya Nyepi di Kota Sampit dilaksanakan tanpa mengarak ogoh-ogoh. Hal itu disebabkan penganut agama Hindu di Sampit tak seperti di daerah lain, seperti Bali. Apabila tetap dipaksakan, kegiatan itu juga bakal kekurangan orang untuk membawa perlengkapan saat ogoh-ogoh diarak.
”Kalau secara umum, konsep perayaan Nyepi di Sampit sama seperti daerah lain. Hanya saja, di sini tidak ada pawai ogoh-ogoh. Karena memang harus diakui, walaupun umat Hindu di Kotim ini cukup banyak, tapi yang ada di Sampit sedikit. Kebanyakan berada di kecamatan di luar Sampit. Kalau orangnya sedikit, tidak ada yang mukul gong atau memikul ogoh-ogohnya,” kata Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Kotim I Gede Sukadana, Senin (27/3).
Sukadana menuturkan, tahapan upacara menjelang hari H tetap dilaksanakan. Mulai dari upacara melasti yang dilaksanakan H-2 sebelum Nyepi. Pada hari tersebut, segala prasarana sembahyang di pura atau tempat suci umat Hindu diarak ke laut atau danau untuk menyucikan dari segala hal negatif, termasuk pada diri manusia. Laut atau danau dianggap sebagai sumber dari air suci (tirta amerta) yang bisa menyucikan dari segala hal negatif.
Terkait ogoh-ogoh, Sukadana menjelaskan, merupakan simbol energi negatif. Karena itulah ogoh-ogoh seringkali dibuat dalam wujud yang menyeramkan. Di Bali, masyarakat biasanya menyebutnya sebagai butakala. Setelah diarak, ogoh-ogoh kemudian dibakar sebagai simbol bahwa energi negatif telah dimusnahkan.
”Dengan dimusnahkannya ogoh-ogoh, diharapkan pada Hari Raya Nyepi tidak akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Pawai ogoh-ogoh ini biasanya dilakukan anak muda, sementara para tetuanya melakukan upacara tawur,” jelasnya.
Setelah ogoh-ogoh, sore hari dilanjutkan dengan upacara tawur atau pencaruan, yakni upacara yang dilakukan untuk membersihkan lingkungan spiritual atau tempat ibadah dan tempat tinggal manusia dengan cara memberikan persembahan yang ditujukan pada alam bawah.
Pasalnya, dalam agama Hindu terdapat tiga alam yang senantiasa harus selalu dihormati keberadaannya. Pertama, alam atas yang berhubungan dengan kedewataan, kedua alam manusia, dan ketiga alam bawah yang berhubungan dengan hal-hal di dunia lain atau yang umumnya disebut mahluk halus.
Kemudian, ritual pada hari H, Hari Raya Nyepi. Umat Hindu melaksanakan catur brata penyepian, yang terdiri dari empat larangan. Pertama, amati geni, tidak boleh menyalakan segala sesuatu yang berhubungan dengan energi api, baik itu lampu, handphone, dan lain-lain.
Kedua, amati karya, tidak boleh bekerja agar lebih banyak waktu untuk melakukan tapa brata, yoga, ataupun semedi. Ketiga, amati lelungan, tidak boleh bepergian ke mana-mana, tetap di rumah, kecuali ada hal yang mendesak, Contohnya, anak sakit dan harus diantar ke dokter. Terakhir, amati lelanguan, tidak boleh beramai-ramai atau mengadakan pesta dan semacamnya.
Tujuan dari catur brata penyepian, jelas Sukadana, untuk memberikan waktu dan kesempatan untuk introspeksi diri, tanpa diganggu hal-hal yang bersifat duniawi. Pada hari itu, mereka merenungkan apa saja yang telah dilakukan setahun lalu, kemudian memikirkan dan mengenal lebih dalam tentang diri sendiri.
”Kalau di Bali, sebagai daerah yang mayoritas masyarakatnya menganut agama Hindu, perayaan Nyepi itu terasa sangat kental. Semua angkutan, baik udara, darat, hingga laut selama hari itu off selama 1x24 jam. Tapi, kalau kami di sini, cukup melaksanakan di rumah masing-masing saja,” ujarnya.
Setelah Hari Raya Nyepi atau H+1, dilanjutkan dengan silaturahim ke rumah sanak saudara maupun kawan. Dia sangat mengapresiasi tindakan pemerintah melalui kementerian agama yang mengeluarkan surat edaran yang ditujukan kepada aparatur pemerintah di tingkat daerah, yang menginstruksikan memberikan dispensasi kerja bagi karyawan pada tanggal 27 dan 29 Maret. (vit/ign)