SAMPIT – Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Kotawaringin Timur sebagian besar dinilai kurang bertaring. Pasalnya, perda yang ada belum bisa menjadi payung hukum yang tegas bagi pelanggarnya. Hal itu disebabkan banyak perda lama yang tidak menetapkan sanksi tegas.
Plt Kepala Satpol PP Kotim Rihel mengatakan, Perda Kotim saat ini perlu diperbarui. ”Perda kita kebanyakan keluar tahun 2014. Artinya, payung hukum kita sudah ada yang expired. Makanya perda-perda yang ada yang terbitnya sebelum tahun 2014, apalagi yang 2010 ke bawah, itu jauh sekali kedaluwarsanya. Padahal, seharusnya minimal lima tahun diperbarui atau diganti. Disesuaikan,” katanya, Kamis (8/6).
Rihel menuturkan, karena perda yang kedaluwarsa itu, pihaknya sulit mengambil tindakan tegas dan cenderung hanya memberikan peringatan secara persuasif pada pelanggar aturan.
Rihel mengaku belum menginventarisasi secara keseluruhan perda yang dinilai kedaluwarsa itu. Akan tetapi, beberapa perda memang tidak menetapkan sanksi tegas. Maksimal sanksi dalam perda adalah denda.
”Yang jelas, pelanggaran yang tidak ada sanksinya itu adalah pelanggaran parkir. Kalau ada hanya denda saja, tipiringnya nggak ada. Kalau masalah gepeng ada sanksinya. Hanya saja, untuk membawanya ke ranah tipiring, kita harus punya PPNS. Tapi saat ini kita tidak punya, ini kendala lainnya,” jelasnya.
Sebenarnya, lanjut Rihel, kalaupun tidak memiliki PPNS untuk menindak tegas pelanggar aturan, pihaknya bisa saja menitipkan pelanggar aturan, seperti gepeng dan anak punk ke rumah singgah. Meski tidak sama seperti penjara, pelanggar aturan tetap ditahan keberadaannya di rumah singgah.
”Sayangnya saat ini kita belum punya rumah singgah. Tetapi, dalam waktu dekat memang akan segera dibangun rumah singgah. Tahun ini sudah dibangun dengan dana pusat. Tinggal nanti kesiapan dinsos. Jika mereka siap, kita tinggal memback up mereka,” ujarnya.
Terpisah, Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPRD Kotim Dadang H Syamsu justru memiliki pandangan berbeda. ”Bagaimana maksudnya ada perda kedaluwarsa? Saya rasa tidak ada. Yang ada hanya sekadar penyesuaian dengan kebutuhan dan peraturan di atasnya,” ujar Dadang.
Dia mencontohkan, perda yang perlu penyesuaian adalah perda miras yang dibuat baru-baru ini. Itu karena perda miras sebelumnya harus disesuaikan dari sisi yuridis, setelah keluarnya Permendag Nomor 6 Tahun 2015 tentang Peredaran Minuman Beralkohol.
”Perda miras itu bukan direvisi lagi, tapi dibuat baru. Itu menyesuaikan perpres dan permendag baru, sekaligus mengakomodasi persoalan yang ada,” jelasnya, seraya menambahkan, perda miras baru otomatis mengguggurkan perda lama. (sei/ang/ign)