SAMPIT – Larangan Dinas Pendidikan (Disdik) Kabupaten Kotawaringin Timur terkait perpeloncoan pada masa orientasi siswa didukung penuh pihak sekolah, salah satunya SMPN 2 Sampit.
”Saya sangat mendukung tidak adanya kegiatan MOS yang tidak mendidik kepada siswa. Seharusnya yang diajarkan pada siswa baru adalah pengenalan lingkungan sekolah, bukan perpeloncoan,” tegas Kepala SMPN 2 Sampit Syailani, Senin (12/6).
Syailani menuturkan, SMPN 2 Sampit tidak lagi memberlakukan MOS, tetapi pengenalan lingkungan sekolah (PLS). Dalam kegiatan ini, dipastikan kegiatan yang dilakukan bermanfaat dan berhubungan dengan pengenalan lingkungan sekolah kepada siswa.
”Jadi, dalam kegiatan ini siswa hanya akan diberikan pengetahuan tentang tatib sekolah. Mengajarkan lingkungan sekolah yang bersih dan indah itu bagaimana, bagaimana memeliharanya, disiplin, dan baris-berbaris. Seperti itu saja,” katanya.
Dalam PLS, lanjutnya, siswa dipastikan dikenalkan mengenai tata letak dan ruangan-ruangan yang ada disekolah, pengenalan stakeholder seperti guru hingga staf sekolah, dan lainnya. Dengan mengetahui hal itu, dia meyakini siswa tidak ada lagi yang merasa terasingkan dari lingkungan sekolah dan justru akan menumbuhkan rasa kebersamaan diantara para siswa.
”Harapan kita, PLS ini bisa berjalan sesuai dengan juknis dan semoga anak-anak bisa mengikuti dengan baik. Kita juga berharap mereka bisa mendapatkan pendidikan karakter dari pelaksanaan PLS ini,” ujarnya.
Pelaksanaan PLS, lanjutnya, oleh Kepala Disdik Kotim Suparmadi, akan dilangsungkan selama tiga hari. Pelaksanaannya harus didasari dengan prinsip mudah, murah, meriah, massal, dan menyenangkan.
Hal penting yang harus dilakukan dalam pelaksanaan PLS, lanjutnya, adalah adanya materi mengenai pendidikan Pancasila, pendidikan bela negara, dan kegiatan yang dilakukan harus menghindari hal-hal yang menyerempet dari perpeloncoan.
”Perpeloncoan itu adalah kegiatan yang sifatnya tidak wajar. Sekarang kita tegaskan tidak boleh ada lagi. Tapi, sejauh ini, sejak tahun lalu semua sekolah di Kotim sudah tidak ada lagi perpeloncoan,” katanya.
Mengenai penggunaan pakaian dan atribut yang aneh, dia juga menegaskan, tidak lagi diperbolehkan. Sebab, meskipun tidak melukai secara fisik, penggunaan atribut aneh akan membuat peserta didik baru merasa malu.
”Memang memakai pakaian aneh ini bukan tindakan kekerasan secara fisik. Tapi jika dipikirkan lagi, kalau kita yang disuruh berpakaian aneh dan berjalan di tengah umum, pasti tidak mau kan? Kalau pun bermaksud menguji mental, ini tetap salah tempatnya. Seharusnya diarahkan pada hal lain yang sifatnya positif,” ujarnya.
Dia mengimbau pada pelaksanaan PLS, semua sekolah mengatur siswa baru mengenakan seragam sekolah mereka sebelumnya masing-masing. Dengan begitu, perpeloncoan dari sisi penggunaan atribut aneh dapat dihindari.
”Harapan kita, seluruh satuan pendidikan mematuhi segala ketentuan yang sudah ditetapkan. Kita akan tindak tegas jika ada pelanggaran, mulai dari teguran dan peringatan. Tapi saya yakin sekolah tidak akan melakukan itu, karena mereka sudah mengetahui itu,” tandasnya. (sei/ign)