SAMPIT | PANGKALANBUN | PALANGKA | KOTAWARINGIN | METROPOLIS | BARITO | GUMAS | DPRD SERUYAN

SAMPIT

Sabtu, 31 Maret 2018 14:09
DUHHH!!!! Masyarakat Bingung dengan Makarel Bercacing

Makarel Picu Penyakit Anisakiasis

Petugas saat memeriksa sejumlah produk ikan dalam kaleng di salah satu swalayan di Kota Sampit.(DESI/RADAR SAMPIT)

SAMPIT – Penarikan produk ikan kaleng yang dilakukan Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) RI membuat bingung masyarakat. Pasalnya, sebagian informasi yang beredar menyamakan ikan sarden dan makarel sebagai produk yang dilarang. Padahal, dua ikan kaleng itu jelas berbeda jenisnya.

”Karena informasi yang beredar sebagian besar menyebut sarden, saya jadi sempat takut makan sarden. Tapi, katanya yang ditarik hanya makarel. Informasi yang beredar membingungkan,” kata Rahman, warga Jalan MT Haryono Sampit yang mengaku sering mengonsumsi sarden, Jumat (30/3).

Warga lainnya, Lestari, mengaku lebih senang dengan sarden. Pasalnya, produk olahan makarel kurang begitu enak dan tidak sesuai lidahnya. ”Anak saya dan keluarga memang lebih suka sarden. Selain lebih murah rasanya, memang sesuai dengan lidah kami,” ujarnya.

Dengan adanya informasi yang menyebutkan sarden dilarang, perempuan ini mengaku agak khawatir mengonsumsi sarden. ”Mungkin untuk sementara tak makan sarden dulu sampai ada informasi yang lebih jelas,” katanya.

Dalam rilis yang dikeluarkan BPOM RI Rabu (28/3) lalu, 27 produk yang disebutkan positif mengandung parasit cacing adalah makarel, tak ada menyebutkan sarden. BPOM memerintahkan kepada importir dan produsen untuk menariknya dari peredaran sekaligus dimusnahkan.

Namun, informasi yang beredar justru menyamakan makarel dengan sarden. Berdasarkan sejumlah sumber di laman internet, sarden merupakan ikan kecil yang banyak hidup di Laut Mediterania. Jenis ikan ini termasuk ikan yang mengandung minyak tinggi, berukuran kecil dan sering disebut ikan herring.

Tubuh ikan sarden dilapisi sisik perak dengan bagian daging berwarna gelap. Ikan ini lebih mudah ditangkap nelayan dan populasinya di laut juga sangat banyak, sehingga lebih mudah ditemui di pasaran. Selain itu, sarden hidup berkelompok, sehingga mudah dijaring. Hal tersebut membuat harganya jauh lebih terjangkau.

Sementara makarel adalah jenis ikan yang banyak terdapat di Laut Atlantik. Ikan ini masuk dalam keluarga ikan kembung dan tenggiri. Ciri bertubuh ramping dan memanjang. Selain itu, di seluruh tubuh ikan ini juga terdapat garis hitam memanjang. Ikan makarel punya ukuran yang cukup besar.

Dilihat dari harga di pasaran, ikan makarel hidup di perairan yang dalam sehingga dibutuhkan teknik khusus dari nelayan untuk menangkapnya. Karena sulit ditangkap, membuat harga ikan makarel jauh lebih mahal dibanding ikan sarden.

 Belum Tahu

Sementara itu, sejumlah pedagang di Kota Sampit sebagian mengaku belum tahu mengenai produk makarel yang ditarik. Parni (40), pedagang di Pasar Keramat mengatakan, belum dapat imbauan dari BPOM terkait produk olahan kemasan kaleng berbahan ikan makarel yang ditarik peredarannya.

Parni menuturkan, produk yang dijualnya sarden. Dia tak memajang makarel karena kurang digemari pembeli. ”Kebanyakan pelanggan membeli sarden, sementara makarel kurang digemari,” ujarnya.

Mengenai imbauan terkait produk berbahaya, menurutnya, langkah pemerintah sejauh ini sudah cukup baik. Setiap tiga bulan sekali dia ikut pertemuan di kantor Kelurahan terdekat dan mendapat arahan terkait produk yang tidak aman diperjualbelikan dan pemberitahuan produk kedaluwarsa.

Opi, pedagang lainnya juga mengaku belum mengetahui produk olahan ikan makarel  kemasan kaleng yang dilarang. Meski demikian, informasi mengenai penarikan produk itu diyakini memengaruhi penjualan sarden.

 

Picu Penyakit Anisakiasis

Sementara itu, keberadaan parasit cacing di dalam olahan ikan makarel kaleng tidak bisa dianggap remeh. Dekan Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Indonesia Ari Fahrial Syam mengatakan, cacing itu bisa memicu penyakit anisakiasis pada manusia. Produsen dan importir diminta lebih waspada soal higienitas.

Ari menjelaskan nama parasit cacing yang ada di dalam ikan makarel itu adalah anisakis. ’’Nama penyakitnya (pada manusia, Red) anisakiasis,’’ katanya.

Dia mengatakan, penyakit anisakiasis terjadi ketika larva cacing tersebut masuk ke dalam tubuh manusia dan menempel di dalam lambung. Keluhan yang bisa muncul pada penderita penyakit anisakiasis adalah nyeri perut, mual, muntah, kembung, diare disertai darah, dan demam yang tidak terlalu tinggi.

Wakil Ketua I Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam (PB Papdi) itu mengatakan, penyakit anisakiasis sering terjadi di Jepang. Sebab, di Negeri Sakura itu terbiasa memakan ikan laut mentah atau setengah matang. Yang tidak menutup kemungkinan di dalam ikan mentah atau setengah matang itu ada larva cacing anisakis.

’’Di Amerika (kasus penyakit anisakiasis, Red) juga meningkat karena ada trend (konsumsi, Red) daging mentah,’’ jelasnya.

Ari menjelaskan, larva atau cacing di dalam olahan ikan makarel berbahaya ketika masuk ke dalam tubuh manusia dalam keadaan hidup. Tetapi, jika penyajian olahan makarel dimasak sampai suhu 100 derajat, bisa dipastikan larva atau cacing anisakis sudah mati kepanasan.

Dia menegaskan, cacing anisakis bukan seperti cacing pita atau cacing tambang yang bisa hidup dan berkembang biak di dalam tubuh manusia. Cacing itu tidak bisa bertelur di tubuh manusia.

Meskipun cacing dipastikan mati ketika olahan makarel dimasak di suhu 100 derajat, Ari mengatakan, aturan normatifnya tidak boleh ada parasit di dalam makanan. ’’Tidak boleh ada larva. Berarti ini terkontaminasi,’’ kata dia.

Untuk itu, dia mendukung kebijakan BPOM supaya produk makarel yang positif mengandung cacing ditarik. Cacing memang memiliki kandungan protein. Pada orang tertentu, protein di cacing bisa memicu alergi.

Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Penny Lukito menuturkan, balai besar POM di seluruh wilayah terus melakukan sidak dan investigasi terkait makarel. Sebanyak 27 makarel yang sudah ditetapkan BPOM mengandung cacing, akan ditarik. Selain itu juga terus dilakukan sosialisasi kepada pedagang maupun masyarakat. 

Terkait sanksi, Penny menjelaskan bahwa pihaknya sudah memberikan hukuman. ”Merek yang positif (mengandung cacing, Red) diberi sanksi administratif dengan  menghentikan sementar kegiatan impor maupun produksi," ujarnya. Selain itu, produsen maupun distributor harus  segera menarik produk dari peredaran.

BPOM belum berencana untuk membawa ke ranah hukum. "Belum ada indikasi kesengajaan. Kan sudah ada sanksi administrasi," ucapnya.

Ketua Asosiasi Pengusaha Pengalengan Ikan Indonesia (APIKI) Ady Surya menyayangkan statemen yang dirilis BPOM. Menurutnya, langkah BPOM tidak memedulikan dampak terhadap dunia usaha.

Sejak kemarin (30/3), kata Ady, hampir seluruh pabrik pengalengan di seluruh Jawa dan Bali telah menghentikan produksinya. Ribuan karyawan juga terpaksa dirumahkan.

Para pemilik pabrik pengalengan, kata Ady tidak mau mengambil risiko dengan terus berproduksi. Sebab semua produk ikan kaleng baik makarel, sarden, maupun tuna di tingkatan ritel telah ditarik. ”Meskipun kami produksi percuma nggak ada yang mau beli,” katanya.

Rilis BPOM kata Ady merupakan pukulan telak bagi seluruh industri pengalengan ikan. Di Banyuwangi, 10 pabrik berhenti beroperasi, di Bali 7 pabrik, serta masing-masing 1 pabrik di Pekalongan dan Pasuruan.

Padahal, kata Ady, anggota APIKI telah menerapkan standar keamanan konsumsi yang tinggi dalam pengolahan ikan kaleng. Seluruh produk diwajibkan untuk menerapkan standar SNI. Standar pengolahan dari Kementarian Kelautan dan Perikanan (KKP), label halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), serta berbagai standar dari International Standard Organization (ISO).

”Saya sudah seperempat abad di dunia pengalengan ikan, belum ada yang mengeluh sakit perut, belum ada yang komplain produk kami mengganggu kesehatan,” ungkap Ady.

Selain itu, kata Ady, cacing anisakis di dalam ikan tidak bisa bertahan lebih dari 15 hari dari kematian inangnya. ”Ikan kaleng itu berapa hari? Mulai dari ditangkap, diantarkan, dibekukan, sampai diolah ke dalam kaleng,” katanya.

Di 44 perusahaan anggota APIKI, ikan dibekukan pada suhu minus 20 derajat celcius. Setelah itu dimasak dalam suhu 117 derajat selsius dalam kondisi steril dan vakum udara. ”Padahal, suhu 70 derajat saja cacing sudah mati,” jelas Ady. (tau/jpg/rm-87/ign)

 


BACA JUGA

Rabu, 08 Mei 2024 13:17

Belasan Desa Sebagai Lokus Stunting

SAMPIT - Sebanyak 16 desa di Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim)…

Rabu, 08 Mei 2024 11:13

Bupati Resmikan Kantor Sekretariat Pokja Bunda PAUD

SAMPIT-Bupati Kotawaringin Timur (Kotim) Halikinnor meresmikan Kantor Sekretariat Kelompok Kerja…

Rabu, 08 Mei 2024 11:13

Bupati Terkejut dengan Data Stunting

SAMPIT-Bupati Kotawaringin Timur Halikinnor mengaku terkejut dengan data pemerintah pusat…

Senin, 06 Mei 2024 18:34

Keberagaman Jadi Modal Utama Memajukan Kotim

SAMPIT-Masyarakat Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) dengan keberagaman budaya, suku dan…

Senin, 06 Mei 2024 18:34

Anggaran TPP Pegawai Rp17 Miliar Per Bulan

SAMPIT Pemerintah Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) perlu menganggarkan sebesar Rp…

Jumat, 03 Mei 2024 11:58

Tarian Memukau Ratusan Pelajar Kotim

SAMPIT – Apel upacara peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) Kamis…

Kamis, 02 Mei 2024 17:30

Ajak Masyarakat Manfaatkan Pelabuhan Sei Ijum

SAMPIT – Bupati Kotawaringin Timur (Kotim) Halikinnor mengajak masyarakat memanfaatkan…

Kamis, 02 Mei 2024 17:26

Pemprov Kalteng Komitmen Majukan Dunia Pendidikan

PALANGKA RAYA-Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalimantan Tengah (Kalteng)  memastikan komitmennya…

Kamis, 02 Mei 2024 14:02

Budi Santosa: Jangan Beratkan Masyarakat dengan Dalih Demi Tingkatkan PAD

PANGKALAN BUN – Pemerintah Kabupaten Kotawaringin Barat (Pemkab Kobar) sedang…

Selasa, 23 April 2024 10:52

Bupati Resmikan Pengering Padi di Lampuyang

  SAMPIT - Bupati Kotawaringin Timur (Kotim) Halikinnor meresmikan bangunan…

Sitemap
  • HOME
  • HOT NEWS
  • NEWS UPDATE
  • KOLOM
  • RAGAM INFO
  • INSPIRASI
  • FEATURE
  • OLAHRAGA
  • EKONOMI
Find Us
Copyright © 2016 PT Duta Prokal Multimedia | Terverifikasi Dewan Pers