KASONGAN - Aktivitas penambang emas tanpa izin (PETI) kian meresahkan. Selain merusak lingkungan Sungai Katingan, dampaknya juga mengancam lahan perkebunan masyarakat. Seperti yang terjadi di Desa Buntut Bali Kecamatan Pulau Malan.
Menanggapi hal itu, Bupati Katingan Sakariyas meminta para penambang emas tersebut segera meninggalkan aktivitas ilegal dan beralih pekerjaan lain yang tidak melanggar hukum. Penambang emas ilegal bisa beralih profesi menjadi petani, beternak, atau memelihara ikan. Apalagi di daerahnya sejauh ini masih banyak lahan yang belum digarap. Pun demikian, prospek pertanian saat ini sangat menjanjikan kesejahteraan bagi masyarakat.
"Sebenarnya banyak sekali lapangan pekerjaan yang tidak menyentuh ke permasalahan hukum, seperti menanam cabai, sayur-mayur maupun beternak serta memelihara ikan keramba," sebutnya.
Menurutnya, jika ditekuni secara serius maka pekerjaan apa saja yang tidak bertentangan dengan masalah hukum bisa menghasilkan rupiah.
"Tapi mungkin para penambang ini maunya dapat uang secara instan. Sebab hari ini kerja, hari itu juga dapat uang. Tapi kalau menanam sayur atau memelihara ikan harus menunggu lama," katanya.
Dengan beralih pekerjaan menjadi petani atau peternak, maka secara tidak langsung juga ikut membantu memelihara alam di Katingan.
Mantikei, Kepala Desa Buntut Bali, menuturkan bahwa seluruh warganya sangat menentang keras keberadaan penambang emas ilegal di aliran Sungai Katingan. Apalagi aktivitas siang dan malan tersebut sudah dilakoni sejak empat bulan terakhir.
"Kami sudah berulang kali menyurati dan mengimbau mereka agar menghentikan aktivitas itu. Tapi tidak pernah digubris sama sekali, mereka bahkan terkesan tidak takut walaupun kami ancam melaporkannya ke pihak kepolisian," tegasnya.
Akibat ulah penambang liar tersebut, banyak lahan perkebunan masyarakat yang berada di bantaran sungai terancam longsor. Pasalnya, material pasir sungai yang disedot penambang mengalihkan arus air ke bibir sungai.
"Saya berharap pihak kepolisian segera bersikap tegas dengan menertibkan mereka. Kalau alasannya karena urusan perut, kenapa membakar lahan untuk bertani atau berladang juga dilarang padahal itu juga sama-sama urusan perut masyarakat," kesalnya. (agg/yit)