Sampit - Agus Junaidi terlunta-lunta saat mengawali usaha. Berbekal tekad dan kesabaran, dia sukses menjadi pengusaha kaca gravir.
Potongan kaca berserakan di atas meja. Di sisinya terdapat beberapa peralatan tukang seperti bor, cutter, lakban, dan alat ukur. Bingkai kaca terserak rapi di sudut ruangan yang berdebu dan kotor. Dindingnya tak lagi menunjukkan warna aslinya, akibat cipratan cat yang menempel.
Seorang pria berbadan sedikit gemuk masuk ke dalam ruangan berukuran tiga meter kali empat meter itu. Masker yang berada di gantungan dinding dekat pintu masuk, dipakainya. Tangannya meraih lakban. Tatapan matanya tajam. Tertuju pada tumpukan kaca polos yang akan ia beri polesan. Digambari macam-macam, sesuai pesanan.
Namanya Agus Junaidi (39), pengusaha kaca gravir (kaca hias) yang ada di Sampit. Ketika memulai usahanya pada 2005 lalu, dia tak menyangka, perjalanan hidupnya yang dulu pahit, kini memberikannya sebuah pelajaran. Tentang arti sebuah tekad dan kesabaran.
Di tangan Agus, kaca-kaca yang awalnya tampak biasa, disulap menjadi sebuah benda dengan nilai seni berdaya jual tinggi. Ia mempelajari seni kaca gravir secara otodidak.
Perjalanan bisnis Agus terbilang rumit. Ia sudah merasakan asam garam kehidupan ketika masih menjadi seorang penjual bakso termuda di Sampit ketika dirinya masih duduk di bangku SMP, pada 2003 silam.
”Saya berbisnis sudah sejak kecil. Saat SMP saya sudah jualan bakso sendirian. Saat itu, jalanan kota tidak sebagus sekarang. Gang-gang kecil masih belum diaspal. Kalau ingat masa itu, gerobak bakso justru lebih besar dari tubuh saya yang kecil,” ujarnya sambil tertawa, ketika dibincangi di kediamannya, Jalan Suprapto 20, Ketapang, Selasa (26/12) siang.
Usai berjualan bakso selama empat tahun, dan setelah lulus sekolah teknik mesin (STM), Agus kemudian menjalani profesi sebagai seorang konsultan bangunan di salah satu perusahaan swasta di Kabupaten Kotim, pada 1997. Tugasnya saat itu adalah membuka lahan transmigrasi.
Karena dirasa kurang cocok dengan pekerjaan tersebut, tahun 1998, Agus memutuskan berhenti dari pekerjaan dan hijrah ke Sidoarjo, Jawa Timur, untuk menekuni profesi sebagai seorang drafter (pembuat desain bangunan) di salah satu perusahaan swasta, selama dua tahun.
Pada 2000, setelah perusahaan yang menggajinya sebagai seorang drafter bangkrut, dia memutuskan untuk kembali ke Sampit dan berjualan sayur mayur hingga 2002. Saat itu, pasca kerusuhan, penjual sayur tidak sebanyak saat ini. Agus ketiban rezeki. Ia memanfaatkan lahan orang tua angkatnya dengan menanami banyak sekali sayuran yang kemudian dia jual dengan berkeliling.
Hingga pada awal 2003, setelah menikah dengan Murniati, istrinya yang sekarang, tanah yang dia tanami harus direlakan lantaran dijual orang tuanya karena alasan ekonomi. Tabungan Agus makin minim. Dengan kondisi yang hampir putus asa, ia kemudian melamar pekerjaan menjadi seorang sopir salah satu toko bangunan di Sampit sekaligus menjadi seorang desainer brosur dan daftar harga untuk toko tersebut.
Setelah dua tahun menjalani profesi itu, Agus mulai berpikir untuk bangkit. Tekadnya yang kuat untuk tidak menggantungkan hidupnya dengan bekerja ikut orang lain, memacu niatnya membuka sebuah usaha advertising (percetakan) di Jalan Pelita Barat pada 2005 silam.
Namun, karena kekurangan modal dan sektor percetakan saat itu sedang lesu, Agus gagal lagi. Baru lima bulan berdiri, usaha advertisingnya bangkrut. Semua yang dimilikinya termasuk motor, kalung istrinya dan beberapa benda berharga harus direlakan untuk dijual.
”Saat itu adalah masa-masa kelam dalam hidup saya. Saya jatuh. Bangkrut. Uang tidak ada. Sementara istri dan anak saya yang lahir setahun sebelumnya harus tetap makan. Waktu itu saya benar-benar bingung,” katanya, sambil mengingat-ingat peristiwa.
Agus kemudian meminta bantuan kepada mantan gurunya berinisial Jaka yang ada di Palangka Raya yang seorang pengusaha kaca gravir. Setelah bertemu Jaka, Agus berlajar secara otodidak untuk pembuatan kaca gravir itu. Pasalnya, karyawan Jaka tak ada yang mau membantunya. Sampai saat ini, Agus tak tahu penyebabnya.
Belum setahun bekerja, kinerja Agus dipuji Jaka. Ia kemudian dipercaya oleh mantan gurunya itu untuk membuka cabang kaca gravir di Sampit. Lalu kembalilah ia ke Sampit dan membuka usahanya itu.
Namun, keberuntungan lagi-lagi tak memihak pada Agus. Belum setahun berdiri, usaha itu bangkrut. Alasannya, perusahaan milik Jaka di Palangka Raya terlalu banyak utang. Sedangkan cabang Sampit dituntut untuk menutupi utang tersebut.
Keadaan khas toko yang memprihatinkan kemudian memaksa Jaka menutup usahanya secara permanen. Toko kaca gravir itu tutup total pada periode pertengahan 2006. Tak beroperasi lagi. Agus kembali terlunta-lunta.
”Saya bangkrut untuk yang kedua kalinya. Waktu itu, harapan saya sudah hampir habis. Tak ada lagi semangat untuk bekerja. Bahkan, anak pertama saya, saat itu saya belikan susu sachet untuk mencukupi asupan gizinya,” tambahnya.
Selang satu minggu usai kolaps, Murniati, sang istri menyemangati Agus. Perempuan yang kini berusia 40 tahun itu mengatakan agar suaminya tak putus asa.
”Kehendak Allah itu baik. Mungkin, inilah saatnya harus bangkit dan menunjukkan kepada orang lain bahwa kita bisa merubah takdir dan nasib,” tambah Agus, menirukan motivasi istrinya saat itu.
Agus kemudian menghubungi temannya bernama Unang (40). Ia mengajak kawan akrabnya itu untuk nekad menyewa pikap dari sebuah toko bangunan yang ada di Jalan Pelita untuk mencari kayu sisa-sisa bangunan yang tak terpakai meskipun uangnya hanya tesisa Rp 100 ribu. Uang itupun hanya cukup untuk menyewa pikap.
Namun karena dorongan dan tekad, Agus berhasil meyakinkan Unang yang saat itu juga kondisinya sama mirisnya dengan Agus. Keduanya bergerilya mengumpulkan papan-papan kayu sisa-sisa pembangunan rumah yang tidak terpakai, hingga terkumpul banyak. Setelah itu, keduanya meletakkan papan-papan kayu tersebut di sebuah tanah kosong milik orang tua Agus di Jalan Pelita Barat.
Papan-papan itu mereka poles. Dipelitur dan diberi sentuhan seni. Sebelum akhirnya dipakai untuk mendirikan sebuah bangunan berukuran 3 meter kali 3 meter. Awalnya banyak yang menyangka, bahwa keduanya akan membangun sebuah warung kopi atau nasi pecel.
Namun setelah dua hari berjibaku di lokasi tesebut, bangunan jadi. Keduanya ternyata mendirikan sebuah kios untuk usaha bengkel kaca gravir. Meskipun tidak ada bahan dan modalnya, mereka berdua berhasil mengumpulkan dana sebesar Rp 1 juta dari perbaikan kaca gravir milik pelanggan.
”Jadi awalnya kami hanya membuka bengkel perbaikan kaca gravir yang pecah dan dipoles untuk diperbarui kembali. Alatnya kami pakai seadanya. Tapi karena ketekunan dan kerajinan kami, hasil polesan saya dan Unang diakui orang,” lanjutnya.
Dari situlah kemudian omzet usaha Agus naik perlahan. Walaupun awalnya hanya mendapatkan pemasukan Rp 50 ribu hingga Rp 100 ribu per bulan, Agus tak putus asa. Ia kemudian menabungkan semua hasil bengkel kaca itu.
Perlahan-lahan ia membeli mesin dan alat-alat yang dibutuhkan dalam membuat sebuah kaca gravir. Setelah peralatan terkumpul, dia memberanikan diri mengubah bengkelnya itu menjadi pabrik pembuatan kaca gravir.
Karena keuletannya itu, Agus berhasil menciptakan peluang dengan sendirinya. Pasalnya, usaha pembuatan kaca hias seperti itu tak ada duanya.
Usaha ayah tiga anak itu naik perlahan. Tak adanya kompetitor, membuat usaha yang didirikan Agus menanjak. Setelah omzetnya naik menjadi Rp 10 juta per bulan, Agus memberanikan membeli sebuah ruko di Jalan Wengga Jaya Agung, nomor 2, dengan cara dicicil melalui bank.
Dari situlah kemudian Agus dan Unang memasarkan produk kaca gravir yang mereka buat sendiri. Untuk harganya bermacam-macam. Tergantung ukuran dan tingkat kesulitan pembuatannya. Biasanya, Agus mematok harga antara Rp 800 ribu hingga Rp 1 juta.
Pemasarannya sudah merambah ke berbagai daerah baik di dalam Kotim maupun di luar Kotim. Di dalam Kotim, Agus memiliki pelanggan tetap yang tersebar di beberapa wilayah berbeda. Yakni Sampit, Samuda, Kotabesi, Parenggean, Antang Kalang, Mentaya Hulu dan Kuala Pembuang.
Sedangkan untuk pelanggan di luar Kotim, Agus memasarkan kacanya itu ke beberapa wilayah seperti Banjarmasin, Pontianak, Samarinda, dan Seruyan. Rata-rata pelanggan memesan desain kaca yang bertema alam seperti burung, macan, naga, bunga, pohon dan bambu.
”Alhamdulillah, omzet saat ini sudah mencapai angka Rp 20 juta per bulan. Kuncinya Cuma satu, jangan pernah menyerah. Kalau menyerah, habislah sudah,” pungkasnya. (ron)