PALANGKA RAYA – Kepala Dinas Perkebunan (Disbun) Kalimantan Tengah (Kalteng) Rawin Rambang menyebutkan sektor perkebunan masih menjadi salah satu andalan di provinsi ini. Selain rotan dan karet, tentu produksi perkebunan kelapa sawit juga memberikan dampak berarti dalam peningkatan ekonomi.
Menurutnya, komoditas sawit di provinsi ini berperan cukup besar dalam menopang industri sawit Nasional. Pasalnya produksi minyak sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO) Kalteng bisa mencapai 4.500 juta ton dan berada di posisi ketiga Nasional setelah Riau dan Sumatera Utara.
“Dampak kemajuan industri kelapa sawit sudah sangat dirasakan oleh masyarakat. Industri ini tercatat telah menyerap tidak kurang dari 400 ribu tenaga kerja baik langsung maupun tidak langsung, yang berdampak pada perkembangan perekonomian daerah di Kalteng,” ungkapnya.
Melihat potensi besar sawit di provinsi ini, Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Kalteng, Halin Ardi menyatakan pihaknya telah melakukan kemitraan dengan masyarakat sekaligus memudahkan mendapat bibit unggul hasil riset anggota GAPKI Kalteng sendiri.
“Salah satu program kemiteraan yang kami inisiasi adalah penyediaan bibit unggul bagi petani mitera” ungkapnya.
Program kemiteraan juga bisa meliputi penyediaan pupuk, sarana dan prasana angkut, konsultasi dan pendampingan, dan lain-lain. Program kemiteraan ditujukan untuk meningkatkan daya saing terutama bagi kebun rakyat di masa mendatang.
Untuk itu, GAPKI berkomitmen menjalankan praktik bisnis yang berlanjutan sebagaimana yang tertuang dalam kebijakan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan Indonesia atau Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).
“Kita sudah punya ISPO untuk memastikan bisnis sawit berkelanjutan, dan kami berkomitmen penuh untuk menjalankan nilai-nilai yang ada di dalamnya,” jelas Halin.
Menanggapi isu yang sering dikaitkan dengan kerusakan lingkungan sebagai dampak dari industri kelapa sawit, Pakar Ilmu Tanah Universitas Palangka Raya (UPR), Sulistiyanto menjelaskan bahwa dirinya sangat optimis bahwa industri sawit ini bisa berlangsung dalam kurun waktu jangka panjang.
“Perihal industri sawit yang dikatakan merusak kesuburan tanah, setelah habis usia ekonomis yang rata-rata berusia 25 tahun, kesuburan tanah tetap bisa dipertahankan, tentunya dengan berbagai upaya,” terangnya. (sla/sho/fm)