SAMPIT – Anggota Komisi III DPRD Kotim Sarjono menuturkan, sejak ditariknya pengelolaan SMA/SMK oleh pemerintah provinsi, membuat sejumlah persoalan muncul. Jenjang pendidikan tersebut terkesan tidak terurus.
Parahnya lagi, pemerintah kabupaten terkesan cuek dengan masalah yang terjadi dengan SMA atau SMK, dengan alasan bahwa itu bukan ranah dari pemerintah kabupaten.
”Memang, alasan dinas di kabupaten itu adalah ranah pemerintah provinsi, tetapi setidaknya mereka yang punya akses jalur ke Dinas Pendidikan Provinsi bisa menyampaikan bagaimana kondisi sekolah SMA atau SMK di pedalaman yang semakin mundur tersebut,” kata dia.
Sarjono kurang sepakat ditariknya wewenang ke provinsi. Pasalnya, pemerintah kabupaten tidak bisa menganggarkan pembangunan untuk sarana dan prasarana sekolah.
”Bukan persoalan berkurangnya beban anggaran pemerintah kabupaten. Saya tidak sepakat, karena di pedalaman itu sangat penting ada SMA atau SMK yang berkualitas dalam rangka melahirkan sumber daya manusia yang bersaing,” kata politikus Golkar Kotim tersebut.
Menurut Sarjono, sejumlah persoalan di pedalaman itu, yakni ruang belajar yang kurang, tidak representatif untuk pembelajaran, kurangnya sarana seperti komputer dan alat praktik, khusunya jenjang pendidikan kejuruan.
”Apalagi gurunya sangat kurang. Padahal saya mendorong anak-anak di pedalaman yang kurang mampu secara ekonomi masuk ke SMK, agar ketika mereka lulus nanti siap kerja. Mereka punya skill. Dengan demikian, orang lokal punya peran juga di perusahaan dan bidang lainnya,” kata dia.
Keinginannya itu sedikit terhambat sejak wewenang diambil alih. Dia yang merencanakan akan memperjuangkan anggaran untuk sektor SMK itu jadi batal. Sekarang, tinggal Pemkab Kotim berkoordinasi dengan Pemprov Kalteng untuk memperhatikan kondisi SMK di luar kota.
”Kalau pembandingnya dari sampel kota, ya terlihat maju. Coba cek ke pedalaman, sangat miris. Apalagi saya sebagai wakil rakyat dari sana,” tandasnya. (ang/ign)