SAMPIT – Kepala Desa Ujung Pandaran Kecamatan Teluk Sampit Aswin Nur membantah anggapan bahwa abrasi di pantai itu akibat aktivitas tambang ilegal di daerah itu. Menurutnya, tambang pasir zirkon atau puya itu tidak berada di lokasi yang dekat dengan abrasi tersebut. Selain itu, penambangan sudah terjadi 15 tahun silam.
”Tak ada hubungan atau dampak dari aktivitas tambang pasir puya itu saya kira, karena aktivitas itu sudah terhenti sejak 15 tahun silam. Sebenarnya bukan masalah puya, tapi sabuk pantai yang tidak sesuai perencanaannya,” kata Aswin Nur, Senin (11/6).
Selain itu, kata dia, lokasi penambangan itu bukan ada di Desa Ujung Pandaran, tetapi di daerah Kalab Paseban. Menurutnya, abrasi pantai itu terjadi selain karena faktor alam, juga akibat perencanaan yang kurang tepat terkait pembangunan proyek geotekstile dari Kementerian Perikanan dan Kelautan. Proyek itu dituding menjadi penyebab abrasi yang kian parah belakangan ini.
Menurut Aswin, pembangunan proyek geotekstile 2017 silam itu tidak ada koordinasi dengan aparatur pemerintahan desa. Baik dari konsultan dan kontraktor tidak pernah menyampaikan pembangunan proyek itu kepada warga desa. Alhasil, ketika sudah selesai, abrasi terjadi secara sporadis.
”Selama sabuk pantai dikerjakan, belum pernah kami sebagai kades dikoordinasikan. Mereka jalan sendiri. Saya saja tidak pernah melihat konsultan proyek tersebut,” katanya.
Aswin menyesalkan proyeknya tidak bisa membendung abrasi. Sebagai masyarakat awam menganggap proyek itu tidak berfungsi apa-apa terhadap abrasi yang semakin meluas tersebut.
Sebagai informasi, akhir 2017, Kementerian Kelautan dan Perikanan mengerjakan proyek sabuk pantai sepanjang 1.200 meter dari geotekstile dengan biaya sekitar Rp 6 miliar. proyek itu sempat molor dari waktu yang ditentukan.
Sabuk pantai berfungsi menahan gelombang agar tekanannya tidak lagi menimbulkan abrasi. Selain itu, geotekstil itu juga untuk menahan pasir agar tidak terbawa gelombang ke laut.
Abrasi ini mengancam kawasan wisata. Jika tidak diselamatkan, objek wisata berjarak sekitar 85 kilometer dari pusat Kota Sampit itu dikhawatirkan hancur tergerus abrasi. Padahal, Pemkab Kotim merencanakan sejumlah pembangunan untuk mengembangkan objek wisata tersebut agar makin menarik minat wisatawan.
”Abrasi ini memang sudah masuk dalam radius pengembangan wisata,” kata Aswin.
Meski begitu, kata dia, jarak antara abrasi dengan lokasi dibangunnya bundaran wisata megah senilai puluhan miliar tersebut masih jauh. ”Tapi kalau soal wisatanya di daerah abrasi ini masuk dalam ring pengembangan wisata tadi,” ujar Aswin.
Dalam beberapa tahun terakhir, puluhan rumah warga terpaksa dibongkar karena pondasinya tergerus abrasi. Para nelayan korban abrasi kemudian direlokasi ke perumahan yang dibangun pemerintah pusat, yakni sebanyak 88 unit rumah.
Belum Tuntas
Sementara itu, relokasi rumah penduduk di pesisir Pantai Ujung Pandaran belum selesai dilakukan. Pasalnya, masih banyak bangunan belum selesai dibongkar. Hanya beberapa yang sudah dibongkar, yakni sekitar 30 unit rumah.
Informasinya, sejumlah warga menolak relokasi ke permukiman baru yang berjarak 500 meter dari bibir pantai tersebut. Di sisi lain, penduduk sekitar seolah tak peduli peringatan yang diberikan pemerintah.
”Banyak yang tak mau pindah. Sampai sekarang ada yang bertahan. Bagi yang mau, sudah membongkar sendiri rumahnya. Bagi yang berduit, sulit (direlokasi),” kata Injul, warga setempat, Minggu (10/6).
Alasan lainnya, lantaran pemerintah belum membuat jalur kelotok dan kapal ukuran kecil milik nelayan untuk mendekati permukiman penduduk tersebut. Mereka khawatir apabila rumah terlalu jauh dengan kelotok, hilang dibawa maling atau dirusak tangan tak bertanggung jawab.
”Mungkin kalau semua syarat itu terpenuhi semua rumah bisa pindah. Nah, tinggal yang berduit saja lagi yang sulit. Terserah pemerintah saja bagaimana,” ucapnya.
BPBD Kotim sudah memperingatkan warga pesisir pantai agar segera pindah sebelum terlambat. Pihaknya selalu menyarankan mengikuti aturan tersebut sebelum pemerintah bertindak tegas.
Meski begitu, pemkab mempertimbangkan keinginan warga yang mayoritas nelayan itu untuk dibuatkan jalur kapal dan kelotok menuju permukiman baru. ”Nanti kan memang dibuatkan jalur dari laut langsung ke perumahan relokasi itu. Memang tidak langsung saat ini,” kata Kepala Pelaksana BPBD Kotim M Yusuf. (ang/mir/ign)