SAMPIT – Keluhan petani karet di Desa Luwuk Ranggan, Kecamatan Cempaga, Kabupaten Kotawaringin Timur, mendapat respon dari Ketua Asosiasi Rotan dan Karet Kabupaten Kotim Dadang H Syamsu.
“Hal ini harus diperhatikan lebih serius. DPRD Kotim bersama Pemkab Kotim harus duduk bersama untuk membahas dan memberi solusi bagaimana mengatasi harga komoditas unggulan masyarakat Kotim ini,” ujarnya, Senin (30/7).
Dadang mengaku prihatin atas merosotnya harga karet di tingkat petani. Harga karet di Kotim hanya Rp 6 ribu per kilogram. Padahal, rotan dan karet merupakan hasil unggulan masyarakat Kotim sejak zaman dulu.
“Saya hanya mengaku prihatin karena harga karet terus mengalami penurunan. Sedangkan komoditas itu andalan dan sekaligus menjadi sumber mata pencaharian masyarakat,” ucapnya.
Dadang tidak berani berspikulasi tentang penyebab merosotnya karet dan rotan, apalagi menduga-duga adanya permain harga di tingkat pengepul maupun pengusaha karet.
“Tidak berani berandai-andai sebelum ada pertemuan antara komisi yang menanggani perekonomian masyarakat dengan Pemkab Kotim. Yang jelas, apabila mereka duduk bersama akan ada solusi,” tandasnya.
Sementara itu Ketua Komisi II DPRD Kotim Rudianur menyebut, tidak pernah membaiknya harga karet telah terjadi sejak lama. Pemerintah daerah terkesan berdiam diri dengan persoalan itu dan tidak pernah menjelaskan kepada para petani.
”Selama ini saya tidak pernah melihat ada penjelasan tentang harga karet yang tidak kunjung membaik. Sejatinya pemerintah daerah harus hadir memberikan penjelasan hingga solusi bagi kalangan petani karet,” kata dia.
Selama ini, kata Rudianur, petani sudah meningkatkan kualitas karet sadapan, tetapi tetap tidak ada perubahan harga.
Anggota dewan yang membidangi ekonomi ini mengakui harga karet anjlok sudah berlangsung sejak lima tahun terakhir. Meski begitu petani karet tidak pernah ribut dan gaduh.
Untuk memperjuangkan petani karet tidak cukup peran pemerintah kabupaten, tetapi juga harus bersinergi dengan pemerintah provinsi. Pemrov juga wajib menyampaikan persoalan petani karet ini ke pemerintah pusat agar bisa dicarikan solusi harga.
”Hal itu belum pernah dilakukan oleh pemerintah daerah, karena alasan harga karet dan permintaan karet dunia mengalami penurunan. Atau justru akibat kegaduhan politik nasional yang berkepanjangan atau faktor ketidakmampuan lainnya,” kata dia.
Akibat rendahnya harga karet saat ini, kehidupan petani karet menjadi sengsara. Banyak anak petani yang berhenti sekolah dan merebaknya kriminalitas. “Karena Kotim ini dari pemetaan ada ribuan penduduk bergantung kepada harga karet itu,” katanya.
Selain harga murah, belakangan ini petani karet juga meringis akibat adanya aksi pencurian di lahan. Karet yang sudah siap jual digondol maling.
“Belakangan ini petani resah karena banyak maling karet, mereka ambil langsung karet yang baru disadap di pohonnya,” kata Matias, warga Desa Luwuk Bunter, Kecamatan Cempaga.
Petani biasanya meninggalkan hasil sadapan di kebun dan di tempurung penampung. Karet cair langsung dibekukan di wadah tempurung tersebut dan dipanen 3-4 hari sekali.
Saat ini harga karet di tingkat petani berkisar Rp 6.500 per kilogram. Kondisi demikian sudah berlangsung sejak lama. “Dulu Rp 10 ribu per kilogram, anjlok ke Rp 5.000 dan naik jadi Rp 6.500 perkilogram,” ujarnya. (ang/fin/yit)