PALANGKA RAYA – Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 1 Tahun 2018 tentang Pedoman Penetapan Harga Pembelian Tandan Buah Segar Kelapa Sawit Produksi Pekebun, dianggap sangat penting bagi masyarakat yang memiliki hubungan kemitraan dalam hal ini plasma dengan perusahaan.
Kepala Dinas Perkebunan (Disbun) Kalimantan Tengah (Kalteng), Rawing Rambang, menyebut Permentan tersebut membuat masyarakat dan perusahaan yang bermitra akan saling mengingat, sekaligus menghindari permasalahan. Hal ini juga menghindari kecenderungan masyarakat yang ingkar janji dengan perusahaan meski sudah ada kerja sama.
“Dalam artian begini, kebun plasma sudah dibangun oleh perusahaan bertahun-tahun dan sudah berproduksi, lalu hasilnya dijual masyarakat ke perusahaan lain. Inikan tidak boleh, sehingga Permentan inilah yang akan mengatur,” katanya kemarin, Jumat (31/8).
Tak hanya itu, aturan tersebut juga menjadi landasan bagi Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) untuk melindungi perusahaan kelapa sawit dan juga mengontrol harga TBS. Apalagi aturan tersebut memperbolehkan pembangunan pabrik tanpa kebun, sehingga GAPKI harus mampu mengontrol itu semua supaya tidak terjadi polemik antara perusahaan dan masyarakat.
“Inikan kalau tidak bentengi bisa repot. Makanya GAPKI harus aktifnya, terlebih mereka juga dituntut oleh anggotanya untuk mengawasi,” ucapnya.
Rawing menyebutkan, GAPKI sendiri sudah mulai mensosialisasikan aturan tersebut ke seluruh Indonesia khususnya daerah penghasil kelapa sawit. Tidak hanya mengingikat, aturan ini juga membuat harga TBS semakin transparan antara kedua belah pihak. Bahkan ucapnya, GAPKI bisa menuntut masyarakat yang tidak punya komitmen atas kerja sama yang sudah terbentuk.
Selain pengawasan, aturan tersebut juga secara tidak langsung mengajak masyarakat untuk melakukan kerja sama dengan perusahaan supaya sawit yang dihasilkan lebih berkualitas. Sebab, dalam Permentan tersebut menekankan kualitas, jumlah harus diatur dan jenis sawit yang dibeli dengan harga besar.
“Karena kalau tidak kerja sama, takutnya hasil sawitnya tidak bagus dan harga yang dibeli tidak besar. Kalau ada kerja sama, maka sudah pasti akan dipantau perkembangan kebun, saat dijual harganya juga besar,” katanya.
Oleh sebab itu, Rawing mengharapkan saat Permentan ini disosialisasikan, pemilik kebun harus dilibatkan, dan kelompok tani yang sudah mempunyai Surat Perjanjian Kerja Sama (SPK) mesti dihadirkan. Bahkan media massa sebagai corong informasi diharapkan mendapat kesempatan hadir saat sosialisasi.
“Supaya nanti tahu apa-apa saja yang harus dipenuhi. Termasuk alasan perusahaan yang tidak ingin membeli TBS masyarakat akan dijelaskan alasannya. Kan ini harus semua tahu aturannya,” pungkasnya. (sho/vin)