SAMPIT – Kebijakan Pemprov Kalimantan Tengah yang mewajibkan masuk Kalteng harus menunjukkan hasil tes swab Reverse transcription-Polymerase Chain Reaction (RT PCR), dinilai memberatkan rakyat kalangan menengah ke bawah. Aturan itu dinilai hanya untuk orang-orang bonafit atau berduit.
”Saya ini sebenarnya mengikuti saja kebijakan wajib tes PCR. Tetapi, kalau bisa kebijakan tersebut segera dievaluasi kembali, karena kewajiban menunjukkan hasil tes PCR bagi pelaku perjalanan yang masuk ke Kalteng sangat memberatkan penumpang,” kata Yeri (38), penumpang pesawat Surabaya- Sampit,Sabtu (22/5).
Saat di Surabaya, Yeri menuturkan, sempat ditanya penyedia layanan kesehatan. ”Dari sananya sampai tanya, untuk apa tes PCR? Bukannya cukup tes antigen saja? Memangnya ibu mau kemana?” ucapnya menirukan dialog petugas penyedia layanan kesehatan.
Menurut Yeri, kebijakan Pemprov Kalteng melalui Surat Edaran Nomor 443.1/40/Satgas Covid-19 tanggal 13 April 2021 tentang Ketentuan Khusus Perjalanan Orang Masuk Wilayah Kalteng dalam Pandemi Covid-19, belum seluruhnya diketahui publik sejak aturan itu diberlakukan 15 April 2021 lalu.
”Saya juga heran, Pemerintah pusat memberi keringanan hanya tes antigen. Bahkan,mulai menerapkan pemeriksaan skrinning menggunakan genose. Ini kenapa kebijakan pemerintah daerah malah memberatkan masyarakat?” ujarnya.
Dia menduga kewajiban tes PCR bagi pelaku perjalanan penumpang pesawat dan kapal yang masuk Kalteng, hanya dijadikan alasan untuk meraih keuntungan bagi sejumlah pihak. Di sisi lain, aturan itu juga memperlihatkan seolah hanya orang berkantong tebal yang bisa masuk Kalteng, karena mahalnya biaya untuk tes PCR.
”Kondisi perekonomian masyarakat sampai saat ini belum pulih. Semua masih berjuang menghadapi pandemi Covid-19. Seolah-olah hanya penumpang yang kaya dan pejabat kelas tinggi saja yang bisa melakukan perjalanan keluar masuk Kalteng,” katanya.
Menurutnya, kebijakan tersebut membuat biaya transportasi membengkak.Tes PCR dipatok Rp 900 ribu dan hanya berlaku 1 x 24 jam.Biaya perjalanan ditambah biaya tiket pesawat Rp 1,2 juta.
”Biaya jadi membengkak, padahal perjalanan ini bukan untuk kepentingan hura-hura atau jalan-jalan, tetapi mengantar anak melanjutkan pendidikan ke jenjang perkuliahan,” ujarnya.
Informasi dihimpun Radar Sampit, ada puluhan penumpang yang batal berangkat ke Kalteng karena biayanya dua kali lipat lebih besar. ”Ada 30-an penumpang yang refund, tak jadi berangkat, karena kebijakan wajib PCR. Ini benar-benar memberatkan dari segi biaya,” ucap penumpang yang tak ingin disebutkan namanya.
Koordinator Wilayah Bandara Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) Kelas III Sampit Tutur Suryanto mengatakan, pihaknya kerap menghadapi protes dan komplain dari penumpang yang keberatan karena kebijakan wajib PCR.
”Hampir setiap hari menghadapi keluhan calon penumpang yang merasa keberatan dengan kebijakan ini. Karena sudah aturan, maka saja jelaskan. Tugas kami hanya melakukan fungsi pengawasan dan pemeriksaan dokumen kesehatan. Jika tidak dapat menunjukkan hasil pemeriksaan tes PCR, tidak bisa check in. Kalau sampai ada yang lolos mendarat sampai Sampit, kami data dan arahkan ke RSUD dr Murjani Sampit untuk menjalani pemeriksaan PCR menggunakan biaya pribadi,” kata Suryanto.
Dia belum bisa memastikan sampai kapan kebijakan wajib tes PCR diberlakukan. ”Kita lihat saja. Semoga ada evaluasi dalam 14 hari kedepan,” tandasnya. (hgn/ign)