SAMPIT- Warga yang mempersoalkan lahan seluas 1 hektare, tempat berdirinya Pasar Manuah di Desa Pelantaran Kecamatan Cempaga Hulu, berharap proses hukum atas dugaan penyerobotan lahan tersebut bisa segera digelar oleh pihak kepolisian. Ahmat Nedi, bersama pihak yang dikuasakannya, yakni Ode Oyie, selaku warga yang melaporkan masalah itu ke polisi, mengungkapkan bahwa kasus ini sudah ditangani Polres Kotim.
”Awalnya kita melapor ke Polda Kalteng pada Januari lalu, dan baru-baru ini sudah dilimpahkan ke Polres Kotim untuk menanganinya. Kami berharap proses hukum kasus ini segera dilaksanakan, dan tidak berlarut-larut hingga memakan waktu yang lama,” ujar Ahmad Nedi kepada Radar Sampit, Kamis (6/9).
Dikatakannya pula, pengaduan mereka tersebut sudah dilengkapi dengan lampiran foto copy sertifikat tanah yang dikeluarkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim), tahun 2000.
”Berkas-berkas bukti kepemilikan lahan itu lengkap kami miliki, terlampir dalam surat pengaduan. Kami menganggap lahan kami itu telah digelapkan dan dijual ke pemerintah desa, kemudian dibangun pasar tersebut di atasnya,” ujar Ahmad.
Selain ke pihak kepolisian, surat pengaduan atas dugaan penyerobotan lahan itu juga sudah ditebuskan BPN, Pengadilan Negeri Kotim, Kejaksaan Tinggi Kalteng, dan Kepala Desa Pelantaran.
Ahmat Nedi juga mengatakan, pihaknya mencurigai ada persekongkolan antara aparat desa terdahulu dengan pihak yang menghibahkan tanah mereka tersebut, hingga di atasnya berdiri pasar desa. ”Tanah itu dihibahkan oleh Ika Eong kepada kades terdahulu, Inggal Eong. Dasarnya hanya SKT saja, sementara saya yang memiliki sertifikat sah tanah tersebut,” ucapnya.
Ode juga menegaskan, pihaknya akan terus menuntut hingga persoalan itu selesai, baik itu secara hukum, hingga tanah mereka yang awalnya kebun karet itu bisa kembali, sesuai sertifikat yang mereka pegang.
Sebelumnya, saat dikonfirmasi koran ini, Kepala Desa Pelantaran, Helis Nadi membenarkan ada warga yang menyoal lahan tempat berdirinya pasar desa tersebut. Menurutnya, pembelian tanah itu dilakukan pihak Desa Keruing, saat belum dimekarkan menjadi Desa Pelantaran.
”Pihak desa membelinya sudah tangan ketiga, rasanya dari saudara Ika Eong lalu ke almarhum Badri. Nah, lalu ke pemerintah desa untuk lokasi pembangunan pasar. Pembelian berdasarkan SKT dan pasar selesai dibangun sekitar tahun 2010-2011 secara bertahap,” paparnya kepada Radar Sampit.
Terkait pengaduan warga, menurut Helis, pihaknya siap meladeni. Dengan catatan, lokasi lahan yang tergambar pada sertifikat tersebut harus dibuktikan dengan pengukuran ke lapangan oleh pihak BPN.
Dia menegaskan, pihak desa tidak melanggar hukum dan aturan dalam pembelian lahan tersebut, karena dasarnya ada. Pihaknya juga siap menghadirkan saksi jika ada pengecekan ke lapangan. ”Termasuk kades terdahulu, siap dihadirkan jadi saksi,” katanya.
Helis menambahkan, setelah masalah itu mencuat ke permukaan, hingga kini belum ada mediasi antara pemerintahan desa dengan warga yang menyoal lahan pasar tersebut. ”Pernah sekali ada surat pengaduan ke DPRD dan kami hanya menerima tebusan saja,” tandasnya. (gus)