PANGKALAN BUN – Upaya penghalangan peliputan yang menimpa Sigit Dzakwan, salah seorang wartawan MNC Media di Pengadilan Negeri Pangkalan Bun mematik reaksi keras para jurnalis di Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalteng.
Buntutnya sekitar delapan orang perwakilan wartawan dari berbagai media mendatangi kantor Pengadilan Negeri (PN) Pangkalan Bun untuk meminta klarifikasi, Selasa (27/11). Kedatangan mereka disambut Imam Suroso, Humas PN Pangkalan Bun. Dalam pertemuan itu terjadi komunikasi dan saling klarifikasi perihal kejadian tersebut. Pengadilan Negeri Pangkalan Bun juga berjanji akan melakukan investigasi internal untuk menyudahi permasalahan tersebut.
Di kesempatan itu Imam Suroso juga meminta maaf atas kejadian dugaan pelarangan liputan tersebut. Namun ia menegaskan bahwa tidak ada sama sekali perintah dari pimpinan untuk melarang wartawan meliput apalagi instruksi kepada bawahan.
“Silahkan meliput sepanjang mengikuti prosedur, jadi kami tegaskan tidak ada larangan. Sedangkan terkait kejadian itu kami akan lakukan investigasi lebih lanjut,” jelasnya dihadapan para Jurnalis Kobar yang juga tergabung dalam organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).
Imam juga menampik bahwa pihaknya sengaja mengulur waktu sidang agar wartawan tidak betah menunggu dan pergi. Imam berdalih bahwa karena terdakwa Sutrimo tidak ditahan maka ia lebih leluasa untuk disidangkan kapan saja. Oleh karena itu hakim mendahulukan saksi-saksi atau terdakwa lain yang sudah menunggu lama.
Syamsudin, Sekretaris PWI Kobar mengatakan, wajar jika wartawan menaruh curiga dan bereaksi atas kasus pemberi keterangan palsu kepada notaris yang mendudukkan Sutrimo sebagai terdakwa. Karena dari kronologis dan kejadian yang dialami wartawan di lapangan, ada korelasi antara putusan bebas dan peristiwa yang dialami Sigit. “Jelas sebagai wartawan pasti menangkap ada apa dibalik ini hingga akhirnya menimbulkan kecurigaan,” katanya.
Seperti diketahui bahwa dugaan penghalangan liputan oleh oknum petugas keamanan PN Pangkalan Bun terjadi pada Senin (26/11) petang sekira pukul 17.00 WIB. Saat itu Sigit akan meliput agenda sidang vonis dalam kasus pemberi keterangan palsu dengan terdakwa Sutrimo di PN Pangkalan Bun. Padahal sidang kasus tersebut terbuka untuk umum. “Saya memang dari awal memantau kasus persidangan dengan terdakwa Sutrimo yang diduga memberikan keterangan palsu ke notaris dalam pembuatan sertifikat tanah. Namun kali ini saya dilarang meliput. Ada apa?,” ujar Sigit.
Ia menceritakan, awalnya sejumlah wartawan mendapatkan informasi bahwa pembacaan vonis terhadap terdakwa Sutrimo akan dilaksanakan pada Senin siang sekira pukul 10.00 WIB. “Namun akhirnya saya dan kawan kawan mendapat info, sidang diundur pukul 13.00 WIB. Sejak saat itu saya bersama Joko, wartawan Radar Sampit, sudah berada di PN Pangkalan Bun untuk menunggu sidang,” beber Sigit.
Namun kejanggalan demi kejanggalan mulai terlihat di PN Pangkalan Bun, meski hakim, JPU, terdakwa dan kuasa hukum sudah berada di lokasi sejak siang hari, namun persidangan tak kunjung dilaksanakan. “Saya tunggulah sampai pukul 17.00 WIB, sidang tak kunjung dimulai. Dan karena ada tugas peliputan lain Joko, wartawan Radar Sampit terpaksa meninggalkan PN, akhirnya saya sendirian di situ,” tuturnya.
Singkat cerita, pukul 17.15 WIB, Sigit menuju lobi PN Pangkalan Bun untuk mengisi buku tamu dan menyerahkan KTP untuk ditukar dengan ID card wartawan kepada seorang Satpam yang berjaga di lobi
“Mas saya mau izin liputan vonis dengan terdakwa Sutrimo infonya sudah dimulai,” ujar Sigit kepada seorang Satpam PN Kobar.
“Waduh Mas maaf, saya tadi diberitahu pimpinan kalau sidang vonis Sutrimo tidak boleh diliput wartawan. Saya hanya menjalankan perintah saja,” ujar satpam.
Pada posisi itu Sigit semakin penasaran karena ia dan Joko Wartawan sudah seringkali mengikuti sidang terdakwa Sutrimo dan tidak ada masalah. Tetapi giliran memasuki sidang vonis ada upaya penghambatan.
Setelah berdebat panjang, akhirnya Sigit diminta bertemu dengan karyawan PN Kobar yang mengaku sebagai petugas Protokoler Pengadilan. “Maaf mas mohon untuk tidak meliput di dalam. Besok saja ke sini lagi ketemu Humas PN Pangkalan Bun untuk hasil vonisnya,” ujarnya.
Tak terima dengan alasan itu, sigit kembali mendebat pelarangan tersebut hingga akhirnya diperbolehkan masuk sedangkan sidang sudah berjalan. “Tidak hanya itu saya juga pernah ditegur hakim dengan nada keras pada saat sidang sebelumnya dalam kasus ini hanya gara-gara mengambil foto. Itupun saya dari belakang padahal tugas saya selain berita juga harus ada gambar, saya juga sudah izin masuk bahkan meninggalkan KTP kepada petugas,” kata Sigit. (jok/sam/sla)