KOTAWARINGIN LAMA – Terputusnya ruas jalan Pangkalan Bun-Kotawaringin Lama (Kolam) akibat banjir membawa berkah bagi masyarakat Kolam. Mereka yang memiliki perahu memanfaatkannya untuk jasa penyeberangan untuk mengangkut orang dan kendaraan roda dua. Bahkan diantara mereka ada yang rela meninggalkan pekerjaan utamanya.
Salah satunya Hateni, warga RT 05 Kelurahan Kotawaringin Hilir ini berhenti menjadi buruh angkut buah sawit untuk sementara dan beralih menjadi matoris getek.
Penghasilan yang didapat dari layanan jasa penyeberangan juga lebih banyak dibandingkan sebagai pengangkut tandan buah segar sawit.
Menurutnya bayaran dari menjadi pengangkut sawit per harinya hanya sebesar Rp 100 ribu, sedangkan dengan jasa getek penyeberangan banjir ini per hari dirinya bisa mengumpulkan uang Rp 200 - Rp 300 ribu.
“Kalau disuruh memilih saya lebih baik menggetek daripada kerja mengangkut buah sawit. Tetapi inikan kerjaan musiman saja,” tutur Hateni, Selasa (18/12).
Disamping itu kerja sebagai matoris getek diakuinya lebih santai namun cukup beresiko karena harus bertanggung jawab menjaga keselamtan jiwa penumpang.
Kemudian penghasilan jasa getek meski besar namun tidak menentu tergantung banyaknya pengguna jalan Pangkalan Bun-Kolam yang melintas. Sementara armada getek setiap hari terus bertambah sehingga berdampak pada antrean untuk mengangkut penumpang.
“Biaya getek sekali jalan sebesar Rp 60 ribu dengan jarak sekitar tiga kilometer, sehari rata-rata kita bisa lima kali menarik tetapi kalau penumpang banyak bisa tujuh kali dalam sehari,” ungkapnya.
Jafar, matoris getek lainnya menambahkan bahwa penghasilan getek tidak menentu, yang jelas matoris getek yang terdaftar berjumlah 53 orang. Per harinya bisa dapat penghasilan bersih sebesar Rp 200 ribu.
“Penghasilan ini sangat membantu perekonomian warga di tengah turunnya harga sawit dan karet,” kata Jafar yang juga merupakan coordinator pengatur getek di kawasan itu.
Disinggung adanya anggapan bahwa tarif getek terlalu mahal, Jafar menjawab diplomatis. Menurutnya padangan tentang tariff itu relative, tergantung siapa yang menilai, sebab di dalam memberikan jasa getek ini juga ada biaya operasional kemudian juga harus bertanggung jawab jika terjadi musibah.
“Misalnya ada getek yang tengelam, pemilik getek harus bertanggung jawab dengan perbaikan kendaraan dan barang bawaan penumpang, sementara para motoris getek ini rata-rata orang berpenghasilan rendah dari mana dia mencari dana itu,” bebernya.
Kemudian matoris getek juga punya nurani, apabila pengguna jalan itu memang orang tidak mampu dan tidak ada uang, jika terus terang akan dicarikan jalan keluarnya.
“Asal jangan langsung marah dan memaki-maki, semuanya bisa dibicarakan. Dan keberadaan kami ini pada dasarnya untuk memberikan jasa memperlancar perjalanan pengguna jalan Pangkalan Bun-Kolam,” tandasnya.
Selain itu putusnya jalan penghubung antar kebupaten ini, tidak hanya menjadi berkah bagi pemilik getek. Para pedagang makanan juga ketiban rezeki, bahkan kini makin banyak yang membuka lapak disekitar pangkalan getek. Mulai dari pedagang pentol hingga warung makan, mereka rata-rata mengaku punya peenghasilan lebih dibanding jualan pada hari-hari biasanya.(gst/sla)