NANGA BULIK – Perkara kepemilikan sabu-sabu seberat 7 kilogram dengan terdakwa Pendi bin Rajji kembali disidangkan di Pengadilan Negeri Nanga Bulik, Selasa (12/2) kemarin. Sidang dipimpin oleh hakim ketua Tommy manik serta dua hakim anggota Wisnu kristiyanto dan Petrus Nico Kristian. Agenda sidang adalah pemeriksaan saksi-saksi.
"Sidang kali ini untuk memeriksa para saksi. Tiga orang saksi telah dihadirkan, mereka adalah polisi yang menangkap pertama kali, sopir travel, dan ibu pemilik warung di Kecamatan Sematu," terang humas PN Nanga Bulik Petrus Nico Kristian.
Jika tahanan lain pada umumnya dititipkan di rutan Pangkalan Bun, khusus bagi pembawa sabu terbanyak di Kalteng ini dititipkan di Polres Lamandau. Sidang juga terpisah dengan para terdakwa kasus lain.
Dalam persidangan kemarin, saksi mengungkapkan bahwa terdakwa membawa bungkusan berisi bongkahan kecil kristal. Saat ketahuan, terdakwa mengotot bahwa yang dibawanya adalah gula.
Brigadir polisi Santara Wijaya, anggota polisi yang pertama kali menangkap pelaku, mengungkapkan bahwa ia bersama dua rekannya sedang melakukan patroli menggunakan mobil di wilayah perbatasan Lamandau-Kobar. Mereka menemukan mobil Avanza yang mencurigakan berada di belakang mobil patroli.
"Karena saat kita pelan ikut pelan, kita laju juga ikut laju, sopirnya seperti grogi, sehingga kita hentikan. Saat diperiksa surat-menyuratnya mati, dan dalam proses perpanjangan," ujar Santara.
Polisi kemudian curiga melihat gerak gerik satu-satunya penumpang yang dibawa oleh travel tersebut. Anggota pun menyuruh penumpang ini untuk menggeledah tas hitam bawaannya sendiri.
"Paling atas ada kerupuk, kemudian pakaian, baru bungkusan kado. Saat dibuka isinya plastik transparan berisi kristal putih. Waktu ditanya ini apa, jawabnya gula," bebernya.
Untuk meyakinkan iapun merobek sedikit kemasan dan mencicipi kristal tersebut dan merasa pahit. Bahkan dia juga memerintahkan pelaku dan supir untuk menjilatnya. Semua mengaku merasakan pahit. Tetapi pelaku tetap ngotot jika yang dibawanya adalah gula.
"Karena curiga ini sabu, kami menghubungi unit narkoba untuk melakukan pemeriksaan," tambahnya.
Sementara itu, sopir travel Rahmat mengaku tidak mengenal terdakwa. Setiap harinya dia bekerja mengantar penumpang dari Kumai -Nanga Tayap (Kalbar). Saat itu ia baru sampai Nanga Tayap sekitar pukul 02.30 wib dini hari. Paginya dia dihubungi oleh Budi, sesama supir travel dari Pontianak untuk membawakan penumpangnya ke Simpang Runtu. Walaupun hanya 1 orang tetapi dihitung dua kursi dengan bayaran Rp 600 ribu.
"Saya hanya dapat operan penumpang, selama perjalanan dia juga lebih banyak tidur. Saya cuma tanya mau kemana, katanya mau ke Sampit dan nanti di Simpang Runtu ada yang menjemput. Saya juga tidak pernah tanya dan memeriksa apa isi tasnya, baru tahu setelah diperiksa polisi," ungkap sopir saat memberikan kesaksian.
Sementara itu hakim ketua Tommy Manik menyatakan bahwa barang bukti sabu-sabu yang dihadirkan di persidangan terlalu sedikit. Dia tidak bisa melihat secara langsung apakah benar bungkusan besar tersebut mirip gula. Karena memang barang bukti yang merupakan 7 kg lebih sabu yang terbungkus dalam 6 bungkusan besar tersebut sebelumnya telah dimusnahkan oleh Polda Kalteng.
"Bukti terlalu sedikit, sudah diubah, tidak terlihat bentuk aslinya. Apakah memang bentuknya seperti gula atau kristal. Saya mau lihat aslinya," ucap hakim.
Meskipun polisi dan sopir travel juga menyatakan bahwa benda kristal tersebut pahit saat dijilat, terdakwa saat itu tetap ngotot bahwa benda yang dibawanya adalah gula.
Terdakwa yang didampingi pengacara tidak menyangkal semua keterangan saksi. Dia juga tidak bisa menghadirkan saksi lain.
Terpisah, jaksa penuntut umumnya M Heru Yustianto mengungkapkan, sidang akan dilanjutkan Kamis 14 Februari 2019 . (mex/yit)