SAMPIT – Sejak diluncurkannya program satu juta rumah, peminat rumah bersubsidi di Kabupaten Kotawaringin Timur terus mengalami peningkatan. Pasalnya, biaya uang muka dan angsuran jauh lebih ringan dibandingkan dengan penjualan harga rumah komersial.
Salah seorang pembeli rumah bersubsidi di Jalan Ir Juanda Sampit Risna mengaku lebih memilih perumahan bersubsidi ketimbang rumah komersial. Hal itu dikarenakan biaya uang muka dan angsuran yang ringan.
“Uang muka untuk rumah subsidi itu berkisar Rp 2 juta – Rp 5 juta dan angsurannya per bulannya juga tidak sampai mencekik kehidupan,” ujar Risna.
Selain biaya uang muka dan angsuran yang ringan, biaya angsuran per bulan tetap datar atau sama dari tahun ke tahun.
“Yang jadi pertimbangan saya mengambil rumah bersubsidi itu karena biaya angsurannya flat tanpa mengikuti suku bunga bank dan itu yang terpenting. Kalau ngikutin suku bunga bank, maka kita sudah harus siap kalau biaya angsuran tiba-tiba terus naik, sedangkan untuk rumah bersubsidi sampai lunas biaya angsuran yang kita bayarkan tetap segitu,” ujarnya.
Kendati demikian, banyak persyaratan yang harus dilalui untuk membeli rumah bersubdisi, selain bukti-bukti kelengkapan berkas, juga harus mengikuti segala ketentuan dan prosedur.
“Saat akad rumah waktu itu, pihak bank sudah wanti-wanti bahwa rumah bersubsidi tidak boleh mengubah tampak depan, meninggikan bangunan, menutupi kondisi rumah yang asli. Seperti ada tetangga saya yang dicabut rumah bersubdisinya karena membangun pagar menutupi bangunan asli. Saya khawatir juga makanya enggak berani bangun pagar dan beton keliling,” ungkapnya.
Menurutnya, pemberlakuan syarat dan ketentuan bagi setiap pembeli atau sebagai debitur rumah bersubsidi semua sama. “Semua aturan itu sama saja, tetapi kalau di tempat saya itu seperti beda dari yang lain, sedikit lebih ketat dan banyak aturan,” celetuknya.
Lain halnya seperti yang dialami Fahry. Sudah sekian bulan berlalu dan sudah melakukan pembayaran uang muka dengan pihak pengembang, namun dirinya belum juga dipanggil pihak bank.
“Masih belum melakukan akad, sekarang masih menunggu pihak bank selesai melakukan survei, aturan yang sekarang lebih beda pengurusan penyelesaian berkas untuk rumah bersubsidi juga harus diselesaikan secepatnya,” ujar Fahry.
Terpisah, Ketua Real Estate Indonesia (REI) Kotim Dadang Hariadi mengatakan perumahan bersubsidi hingga kini menjadi primadona bagi warga Kotim. Kemudahan dan keringanan beban biaya uang muka dan angsuran per bulan menjadi alasannya.
“Kredit rumah bersubsidi memang lebih ringan karena uang muka yang seharusnya Rp 7,1 juta dikurangi lima persen dari harga jual ini, dibantu oleh pemerintah sebesar Rp 4 juta dan sisanya dibayarkan oleh debitur,” kata Dadang Hariadi.
Menurutnya, fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) yang merupakan program besutan pemerintah ini sangat membantu masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) untuk bisa mengakses kredit kepemilikan rumah (KPR). Namun, saat ini pihak pengembang terkendala kuota dari pemerintah. Selain itu, harga per unit rumah juga belum ditetapkan.
“Banyak permintaan, ada sekitar 13 berkas yang masuk tetapi enggak bisa dilanjutkan berkasnya karena semua ingin menunggu program rumah subsidi. Sudah kami tawarkan agar beralih ke perumahan komersial tetapi tidak semua masyarakat berminat. Kuota belum ditetapkan dan harga juga masih menggunakan harga lama,” ujarnya.
Lebih lanjut, Dadang mengatakan tahun 2019 ini harga akan dikabarkan naik menjadi RP 153 juta, namun masih belum bisa diproses sehingga harga penjualan masih menggunakan harga tahun 2018. “Saat ini kita masih gunakan harga lama Rp 142 juta per unit rumah bersubsidi dengan type 36,” ujarnya.
Tingginya permintaan rumah bersubsidi tak sebanding dengan permintaan rumah komersial. Pengembang mengaku kesulitan menjual rumah komersial. Tak heran, sebagian besar pengembang banting setir membangun rumah subsidi.
“Sekarang penjualan khususnya di sektor komersial memang lagi lesu, faktor krisis perekonomian dan kesejahteraan masyarakat bisa jadi salah satu penyebabnya,” pungkasnya. (hgn/yit)