SAMPIT – Tingginya angka perceraian di Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) didominasi karena kehadiran pihak ketiga. Mereka kerap disebut pelakor (perebut lelaki orang) atau pebinor (perebut istri orang). Pengadilan Negeri Agama Sampit telah berupaya mencegah perpisahan dengan melakukan mediasi, namun kerap gagal.
Ketua Pengadilan Agama Sampit Norhadi menuturkan, berdasarkan data dari Pengadilan Agama Sampit, jumlah duda/janda dalam tiga tahun terakhir mencapai 2.655 orang. Rinciannya, tahun 2017 terjadi sebanyak 617 kasus gugatan, tahun 2018 sebanyak 1.091 gugatan, dan terakhir tahun 2019 sebanyak 947 gugatan perceraian.
”Dari beberapa faktor penyebab kasus perceraian, khususnya dalam beberapa bulan terakhir, paling dominan disebabkan orang ketiga. Disusul faktor perekonomian hingga menimbulkan perkelahian dan berakhir pada kekerasan dalam rumah tangga,” kata Norhadi, Rabu (8/1).
Di samping itu, lanjutnya, faktor tipisnya iman juga bisa memicu goyahnya ikatan pasangan suami istri dalam berumah tangga. ”Lemahnya iman bisa memengaruhi beberapa faktor, seperti perselingkuhan, keegoisan, serta kekerasan dalam rumah tangga bisa terjadi. Jadi, manusia yang hidup tanpa diimbangi iman, tidak akan merasa puas dan damai dalam menjalani hidup,” ujarnya.
Untuk menekan angka kasus perceraian, tutur Norhadi, pihaknya telah melakukan upaya mediasi kepada kedua belah pihak. Bahkan, mediasi tersebut dilakukan tidak hanya satu kali, bisa sampai dua hingga lima kali, sehingga putusan benar-benar ditetapkan.
”Tugas kami di Pengadilan Agama sesuai Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang mediasi, bahwa Pengadilan Agama wajib mendamaikan kedua belah pihak,” ujarnya.
”Jadi, kami tidak serta merta langsung mengambil keputusan dan ketuk palu. Kami sudah berusaha maksimal mendamaikan kedua belah pihak. Bahkan, apabila mediator gagal melakukan mediasi berkali-kali, mediator yang melaporkan ke majelis hakim tidak begitu saja mengetuk palu. Sampai detik terakhir putusan kami tetap diwajibkan berupaya mendamaikan,” tambahnya.
Upaya mediasi juga dilakukan dengan memanggil orang tua kedua belah pihak untuk melakukan upaya perdamaian atas perintah majelis hakim. ”Jika dengan cara ini juga gagal dan Majelis Hakim sudah semaksimal mungkin, terpaksa putusan dan ketuk palu dilakukan,’’ ujarnya.
Dia mengaku sedih ketika menghadapi kegagalan dalam melakukan upaya mediasi, sehingga berakhir pada perpisahan. ”Kami juga sedih melihat rumah tangga berantakan, tetapi apa boleh buat. Jika ini sudah berurusan dengan hati, cara mendamaikannya memang harus dari hati ke hati. Tetapi, jika sudah tidak bisa ditemukan upaya perdamaian, perpisahanlah menjadi pilihan terakhirnya,” ucapnya.
Lebih lanjut Norhadi mengatakan, sebagian pasangan berhasil didamaikan melalui jalur Pengadilan Agama. Namun, jumlahnya lebih sedikit, yakni hanya 24 perkara. ”Memang persentasenya sangat kecil sekali jika dibandingkan angka kasus perceraian yang terjadi,” pungkasnya.
Sebelumnya, tingginya angka perceraian di Kotim jadi sorotan khusus Bupati Kotim Supian Hadi. Menurutnya, perceraian seharusnya jangan sampai terjadi, karena hanya akan membuat anak menjadi korban.
Terkadang, kata Supian, bercerai bisa jadi satu-satunya pilihan yang diambil orang tua setelah mengalami berbagai konflik rumah tangga. Perceraian bisa menciptakan gejolak emosi bagi seluruh keluarga dan berdampak besar pada psikologis anak.(hgn/ign)