Oleh: Gunawan
Daya rusak virus korona baru penyebab Covid-19 begitu hebat dan dahsyat. Makhluk supermini itu tak hanya menghantam sistem pertahanan kesehatan, tapi juga melumpuhkan sendi perekonomian. Juga sektor penting lainnya.
Sejak dua pasien pertama diumumkan Presiden RI Joko Widodo 2 Maret silam, seluruh proses kehidupan kita praktis berubah. Ketakutan mencengkeram sebagian besar orang. Khawatir tertular wabah yang telah memangsa nyawa 126.140 umat manusia (per Kamis, 16 April) di seluruh dunia itu.
Budaya dan kebiasaan kita berubah total. Tak ada lagi jabat tangan. Tak ada lagi cengkerama saling tatap mata. Proses ibadah pun dipaksa tak lagi seperti biasa. Harus dari rumah. Wajib dilakukan apabila ingin mencegah penularan.
Wabah itu membuat manusia saling penuh curiga. Merasa orang di sekitarnya kemungkinan terpapar virus yang mendunia. Batuk dan pilek menjadi penyakit menakutkan. Jangan sekali-kali mencoba batuk tanpa henti di tengah keramaian jika tak ingin langsung dijauhi.
Pandemi juga mengikis rasa kemanusiaan secara perlahan. Sebagian besar orang tak lagi berani mendekati, apalagi menolong sesama yang tiba-tiba ambruk, pingsan, atau bahkan kecelakaan di tempat terbuka. Sampai sedemikian parahnya wabah mengubah kita. Semua seolah dimangsa.
Kapan krisis pandemi ini berakhir? Tak ada yang tahu pasti. Ada banyak penelitian dan perkiraan yang dibuat para pakar. Mulai dari April, Mei, Juni, Juli, sampai akhir tahun. Saya sendiri sampai bingung mau percaya yang mana. Apalagi hoaks bertebaran di mana-mana.
Yang jelas, jika dibayangkan lebih dalam lagi lamanya masa pandemi, akan betul-betul mengerikan. Bahkan menyiksa pikiran. Dalam waktu sebulan saja, beberapa usaha tutup. Sementara waktu memang. Tapi, imbasnya betul-betul memilukan. Banyak pekerja dirumahkan. Bahkan, ada yang terpaksa dilakukan pemutusan hubungan kerja (PHK).
Bayangkan, jika kondisi itu berlangsung satu sampai dua bulan ke depan? Atau bahkan sampai akhir tahun? Dari mana dapat pemasukan? Bagaimana menghidupi keluarga? Sangat mengerikan, bukan? Air mata akan mengalir di mana-mana. Akibat kian sesak dan beratnya beban kehidupan.
Belum lagi soal penularan yang kian hari terus bertambah. Memang, sudah banyak orang yang sembuh, namun tak sedikit pula yang hilang nyawa. Apalagi banyak pasien meninggal yang tak tercatat data sebagai orang positif terjangkit, karena statusnya masih pasien dalam pengawasan (PDP). Atau mungkin orang dalam pemantauan (ODP).
Fasilitas kesehatan dan tenaga medis kita jelas kewalahan menangani demikian banyaknya penambahan. Maka, lengkaplah sudah virus ini menghajar kita semua. Babak belur dibuatnya.
Meski jalan yang kita lalui sekarang masih gelap, tentu kita tak boleh kehilangan harapan. Perang dengan pandemi ini masih berlangsung. Kian sengit. Di tengah kekhawatiran terpapar wabah dan perekonomian yang kian sulit, optimisme harus terus dibangun.
Imbauan pemerintah, ahli, atau pakar kesehatan mengenai cara mencegah penularan wabah wajib kita jadikan sabda. Mencuci tangan, menjaga jarak, menggunakan masker, dan lainnya wajib diterapkan. Itu jika kita ingin wabah ini segera berlalu. Jangan lagi menyepelekan! Ada banyak nyawa yang dipertaruhkan.
Badai ini pasti berlalu. Akan ada hari di mana kita bisa berjabat tangan, saling merangkul tanpa rasa curiga. Akan ada hari saling bercengkerama tanpa jarak dengan senyum bahagia. Kita semua pasti menanti masa itu. Masa di mana kehidupan kita kembali seperti biasa.
***
Hari jadi Radar Sampit yang jatuh tepat hari ini, merupakan peringatan paling kelam sejak koran ini terbit pertama kali 14 tahun silam. Semua agenda yang biasanya menyertai menjelang HUT tiba, terpaksa dibatalkan sejak mewabahnya virus korona.
Sebagai media massa yang menempuh jalan di jalur cetak, tentu pandemi ini membuat Radar Sampit juga merasakan dampaknya. Ada banyak perubahan yang terpaksa dilakukan. Menyesuaikan dengan situasi penularan.
Berbagai strategi kami jalankan. Termasuk yang mungkin agak menyakitkan. Efisiensi besar-besaran dilakukan, di antaranya mengurangi jumlah halaman koran. Edisi Sabtu dan Minggu yang biasanya terbit 16 halaman, berkurang menjadi 12 halaman.
Situasi ekonomi yang belum juga membaik, memaksa manajemen harus mengambil langkah serupa untuk halaman edisi Senin-Jumat yang semula 20 halaman, menjadi 16 halaman. Kebijakan itu berlaku mulai pekan depan. Koran yang sampai ke tangan Anda, bakal lebih tipis dari biasanya.
Meski demikian, dengan semakin berkurangnya halaman, kami akan berupaya menyajikan berita-berita berkualitas, yang tentu berbeda dengan media online yang lebih dulu mengabarkan. Kami akan berusaha menghadirkan perspektif liputan dan ulasan yang berbeda meski isunya sama.
Kabar baiknya juga, kami akan tetap hadir setiap hari ke tangan Anda. Keputusan yang diambil ketika rata-rata koran cetak terpaksa meniadakan edisi hari libur atau Minggu. Ini sebagai bentuk perjuangan, bahwa kami akan selalu menyajikan informasi yang bisa dipertanggungjawabkan. Di tengah hoaks yang kian membabi buta, Anda bisa menjadikan koran ini sebagai referensi berita. Tentunya dilengkapi juga dengan portal online Radar Sampit.
Di hari jadi Radar Sampit hari ini, kami punya harapan dan doa yang sama seperti miliaran umat manusia lainnya. Berharap wabah ini segera berakhir. Semoga! (gunawan.radarsampit@gmail.com)