PALANGKA RAYA- Rancangan Kitab Umum Hukum Pidana (RKUHP) mungkin tak lama lagi disahkan. Hal itu menuai sejumlah reaksi, karena salah satunya karena RKUHP dinilai mengesampingkan aspek kesehatan reproduksi dan kesetaraan gender. Selain itu, masalah overkriminalisasi (tindakan kriminalisasi yang berlebihan) belum secara detail dijelaskan.
Hal itu diutarakan Ketua Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Kalteng dr Muhammad Fitriyanto Leksono, M.Si bersama Ketua Solidaritas Perempuan Mamut Menteng Margaretha Winda Febiana Karotina, di tengah diskusi bertajuk Proyeksi Dampak Disahkannya RKUHP Terhadap Kesehatan Reproduksi dan Kesetaraan Gender, kemarin.
Fitriyanto mengungkapkan, dalam RKUHP pihaknya menemukan adanya kejanggalan yang masih membutuhkan pembahasan lebih lanjut. Terutama pada pasal-pasal yang berkaitan dengan kesehatan dan kesetaraan gender. ”Salah satunya terkait kriminalisasi terhadap edukasi dan promosi alat pencegahan kehamilan,” sebutnya.
Lebih lanjut diuraikannya, RKUHP menyatakan bahwa edukasi dan promosi hanya dapat dilakukan oleh petugas yang berwenang. Padahal menurutnya Undang-Undang 52/2009 tentang KB mengedepankan peran masyarakat dan edukasi kesehatan reproduksi dapat dilakukan oleh masyarakat, termasuk pendidik sebaya, konselor, dan relawan.
Fitriyanto pun menilai, itu adalah salah satu bentuk kemunduran di kala masyarakat mulai terlatih dan mengetahui tentang alat kontrasepsi, RKUHP malah melakukan pembatasan dan mengkriminalisasi. Salah satunya karena promosi dan edukasi alat kontrasepsi hanya dapat dilakukan oleh petugas berwenang dan relawan kompeten, dengan penugasan dari pejabat berwenang.
Dipaparkannya lagi, dalam kaitan itu tidak diketahui secara pasti siapa yang pejabat berwenang yang berhak memberikan penugasan tersebut. Belum lagi, bagaimana menentukan kompetensi untuk menilai boleh atau tidaknya seorang mempromosikan alat kontrasepsi, sebagai alat pencegahan kehamilan.
”Dengan pasal ini, bahkan orang tua dapat dipidana apabila memberikan informasi alat pencegahan kehamilan sebagai bekal persiapan perencanaan pernikahan kepada anak. Pasal ini tentunya akan menghambat banyak program pemerintah,” imbuh Fitriyanto.
Kejanggalan lain menurutnya, adalah kriminalisasi setiap bentuk persetubuhan di luar ikatan perkawinan. Itu disampaikan dalam KUHP yang berlaku sekarang, kriminalisasi hanya untuk pihak yang berada dalam perkawinan, namun melalui ketentuan pasal zina dalam RKUHP, kriminalisasi dapat dilakukan pada persetubuhan di luar perkawinan.
Pihaknya pun menilai, dalam rancangan tersebut dapat berpotensi memidana orang-orang yang tidak mencatatkan pernikahannya ke negara karena alasan ekonomi, perbedaan keyakinan dan bahkan penerapan adat budaya, dan meningkatkan angka perkawinan anak. ”Maka itu jangan sampai perkawinan nantinya akan menjadi solusi setiap persetubuhan,” tekannya.
Fitriyanto menambahkan, kejanggalan lainnya yakni kriminalisasi setiap perempuan yang melakukan pengguguran kandungan/penghentian kehamilan termasuk dengan indikasi medis dan untuk korban perkosaan.
Ketua Solidaritas Perempuan Mamut Menteng Margaretha Winda Febiana Karotina juga menilai, dalam RKUHP juga terlihat kriminalisasi kepada orang yang bekerja di jalan dan anak terlantar.
”RKUHP menuliskan bahwa setiap orang yang bergelandangan di jalan atau di tempat umum yang mengganggu ketertiban umum dipidana dengan pidana denda paling banyak satu juta rupiah. Namun unsur penggelandangan tidak dijelaskan secara spesifik,” paparnya.
Winda menekankan atas hal tersebut, Aliansi Masyarakat Sipil Kalteng Tunda RKUHP mendorong agar Pemerintah dan DPR mempertimbangkan ulang rencana pengesahan RKUHP, yang menurutnya secara nyata berpotensi menimbulkan banyak masalah baru.
”Kami percaya bahwa RKUHP adalah produk hukum yang lahir dari konsensus dan seharusnya bertujuan untuk melindungi masyarakat Indonesia. Termasuk warga Kalimantan Tengah dan daerah-daerah lain yang letaknya jauh dari pemerintah pusat,” pungkasnya. (daq/gus)