Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) membantah tudingan melawan hukum yang dilontarkan Yuspiansyah melalui kuasa hukumnya Labih Marat Binti. Langkah pihaknya membatalkan sertifikat milik Yuspiansyah, telah sesuai prosedur.
Hal tersebut disampaikan Kepala BPN Kotim Jhonsen Ginting. Dia mengklarifikasi tudingan Yuspiansyah yang mempersoalkan putusan PTTUN Jakarta, Rabu (1/9).
Jhonsen menjelaskan, persoalan tersebut telah diproses PTTUN. Pada tingkat pertama diproses di PTUN Palangka Raya Nomor 15/G/2018/PTUN.PLK pada 13 November 2018. Setahun kemudian, tepatnya 21 Maret 2019, naik ke tingkat banding di PTTUN Jakarta Nomor 51/B/2019/PT.TUN.JKT.
Terakhir, dilakukan proses kasasi dengan keluarnya Putusan Mahkamah Agung Nomor 365 K/TUN/2019 pada 16 September 2019. Dalam amar putusannya, menolak permohonan kasasi Yuspiansyah dan menghukum pemohon membayar biaya perkara pada tingkat kasasi sebesar Rp 500 ribu.
”Kami bekerja sesuai prosedur berdasarkan PTUN yang telah berkekuatan hukum tetap dan Mahkamah Agung menyatakan batal Sertifikat Hak Milik Nomor 571 atas nama Syahriansyah, sehingga BPN Kotim (tergugat) diwajibkan mencabut dari buku tanah,” kata Jhonsen.
Sebagai tindak lanjut pelaksanaan putusan MA, lanjutnya, BPN menerbitkan Surat Keputusan Nomor 1956/KEP-02.600.13/XII/2020 tanggal 16 September 2020 tentang Pembatalan Hak Atas Tanah atau Pembatalan Sertifikat atau Perubahan Data pada Sertifikat, Surat Ukur, Buku Tanah dan atau Daftar Umum Lainnya terhadap Sertifikat Hak Milik Nomor 571/Pasir Putih tanggal 29 Desember 2012, Surat Ukur Nomor 255/Pasir Putih/2012 tanggal 28 Desember 2012 dengan luasan 18.469 M2 atas nama Syahriansyah.
”Saya sangat menyayangkan dengan pemberitaan yang terbit Jumat 20 Agustus 2021, karena permasalahan sengketa tanah tersebut sudah diselesaikan melalui jalur litigasi atau peradilan yang saat ini putusannya telah berkekuatan hukum tetap berdasarkan surat PTUN Palangka Raya Nomor W2.TUN6/803/HK.06/VII/2020 tanggal 7 Juli 2020,” jelasnya.
”Kami tidak memiliki kepentingan di situ. BPN hanya melaksanakan tugas sesuai prosedur dan aturan yang berlaku,” tegasnya lagi.
Lebih lanjut dia mengatakan, meski dalam putusan pengadilan telah dibatalkan, apabila pemenangnya tidak mendaftarkan, pihaknya tak bisa diproses. ”Maka, yang memenangkan itu harus datang ke BPN, bawa berkas, bayar biayanya, baru bisa diproses untuk pembatalannya,” jelasnya.
Jhonsen menuturkan, meski masalah itu digugat lagi melalui Pengadilan Negeri Sampit, pihaknya mengambil acuan putusan PTTUN sebelumnya. Meski demikian, pembatalan sertifikat itu bisa dilakukan melalui putusan sementara Majelis Hakim dan ada surat pada BPN yang meminta agar jangan dibatalkan.
Dia mengungkapkan, pihaknya telah dua kali menyurati Yuspiansyah agar menyerahkan SHM miliknya. Akan tetapi, kalau pun tak diserahkan, BPN tetap bisa membatalkan.
”Kalaupun tidak diserahkan, secara sistemnya kami tutup nonaktif. Misalnya mau jual atau balik nama ke sini tidak bisa. Mau dipecah tak bisa. Sistem sudah mati (tidak terbaca),” katanya.
Sebelumnya diberitakan, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Jakarta dinilai mengeluarkan putusan janggal dalam gugatan sengketa tanah di Kotim. Lembaga peradilan itu dilaporkan ke Komisi Yudisial karena diduga mengeluarkan keputusan di luar aturan hukum.
Pelaporan terhadap PTTUN ke KY itu dilakukan Yuspiansyah, warga Kotim. Penasihat hukum Yuspiansyah, Labih Marat Binti, Kamis (19/8), mengatakan, persoalan tersebut berawal ketika Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 571 Tahun 2012 atas nama Syahriansah (almarhum), digugat DS di PTUN Palangka Raya tahun 2018 lalu.
Terkait putusan itu, pihaknya juga menggugat sengketa kepemilikan tanah di Pengadilan Negeri Sampit. Dalam perkembangannya, diketahui ada surat dari BPN yang meminta Yuspiansyah menyerahkan legalitas miliknya untuk dibatalkan.
”Kami menolak menyerahkan SHM 571/2012 karena masalah sengketa kepemilikan tanah sedang digugat di PN Sampit. Menunggu sampai ada keputusan pengadilan berkekuatan hukum tetap,” ujar Labih. (hgn/ign)