Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) bakal ”menguliti” pemberlakuan tarif yang diberlakukan PDAM Tirta Mentaya Sampit yang banyak dikeluhkan serta sejumlah kejanggalannya. Di sisi lain, kebijakan tersebut dinilai tidak peka dengan kondisi perekonomian rakyat.
”Dalam waktu dekat ini kami akan mengundang PDAM untuk meminta kejelasan lebih jauh mengenai tarif yang banyak dikeluhkan masyarakat,” kata anggota Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD Kotim Dadang H Syamsu, Kamis (15/10).
Menurut Dadang, banyak hal yang perlu dijelaskan PDAM Tirta Mentaya Sampit pada publik, termasuk kejanggalan tarif yang sudah berlaku pada pelanggan. Berbagai keluhan akan jadi masukan pihaknya agar polemik tersebut bisa diakhiri dan tak memberatkan masyarakat.
Dadang menilai, kebijakan tersebut tidak peka diterapkan di tengah kondisi sekarang. Perekonomian sebagian masyarakat yang menjadi pelanggan PDAM masih belum pulih sepenuhnya setelah setahun lebih dihantam pandemi Covid-19.
Di sisi lain, menurut Dadang, alasan PDAM bahwa penaikan tarif itu untuk menjaga stabilitas keuangan agar tidak kolaps terlalu prematur. Pasalnya, PDAM merupakan perusahaan pelat merah yang jelas mendapat anggaran pemerintah melalui penyertaan modal (selengkapnya lihat grafis).
Selain itu, penaikan tarif tersebut juga dinilai sepihak tanpa menyertakan DPRD. Meskipun legislatif tak bisa mengatur kebijakan PDAM secara teknis, namun untuk hal yang berkaitan dengan masyarakat, harusnya bisa dibahas bersama.
”Jika dibahas bersama DPRD, setidaknya bisa dicari solusi tarif yang sesuai dan tidak memberatkan masyarakat. Apalagi DPRD sebagai representasi suara rakyat, sehingga seharusnya penaikan tarif itu bisa dibahas bersama,” katanya.
Diberitakan sebelumnya, kenaikan tarif PDAM Tirta Mentaya Sampit diwarnai kejanggalan. Tarif baru tersebut seharusnya berlaku per 1 Oktober 2021. Akan tetapi, sejumlah pelanggan justru membayar tarif lebih mahal untuk pemakaian air September.
Direktur PDAM Tirta Mentaya Sampit Firdaus Herman Ranggan saat dikonfirmasi Radar Sampit, Kamis (14/10), justru heran dengan keluhan masyarakat yang membayar tagihan lebih besar untuk pemakaian September. Padahal, seharusnya tarif baru berlaku 1 Oktober, sehingga kenaikan biaya pemakaian harusnya terjadi saat membayar tagihan November mendatang.
”Diberlakukan sejak 1 Oktober. Harusnya November baru terlihat penyesuaian tarif,” ujarnya. Menurutnya, penyesuaian tarif tersebut merupakan keputusan akhir yang harus diambil pihaknya, karena menyesuaikan dengan biaya operasional, seperti listrik, bahan bakar minyak, bahan kimia, dan lainnya.
Dia menegaskan, kebijakan tersebut memang harus diambil untuk menghindari masalah besar ke depannya, yakni agar tidak kolaps. Selain itu, agar masyarakat bisa lebih hemat dan mengatur lebih ketat lagi penggunaan air bersih.
”Situasinya memang harus dan terpaksa kami ambil untuk menghindari masalah yang lebih besar. Kami tahu keputusan itu memang tidak populer,” ujarnya.
Pernyataan Firdaus berbeda dengan pengakuan sejumlah pelanggan PDAM kepada Radar Sampit. Heru, warga Jalan Antang Barat, misalnya, mengaku harus membayar lebih mahal untuk pemakaian air September, yakni sebesar Rp 77.500 ditambah biaya admin sebesar Rp 3.000, sehingga totalnya Rp 80.500.
”Padahal katanya naik mulai 1 Oktober, tapi tagihannya naik untuk pemakaian September,” ujarnya. Selain itu, beban tanpa pemakaian yang biasanya hanya dikenakan Rp 20 ribu, naik menjadi Rp 50 ribu. Hal tersebut terjadi pada Citra, warga Jalan Antang Barat yang membayar sebesar Rp 53 ribu Oktober ini (ditambah biaya admin Rp 3.000). (ang/ign)