Anggota DPRD Kotim Rimbun akhirnya diperiksa polisi akibat pernyataannya di media massa yang mempertanyakan kelanjutan sidang adat bos miras beberapa waktu lalu. Berlanjutnya proses hukum terhadap wakil rakyat itu secara tidak langsung mengancam kebebasan berpendapat yang dilindungi Undang-Undang Dasar 1945.
Informasi dihimpun Radar Sampit, Rimbun akhirnya memenuhi panggilan Unit I Satuan Reserse Kriminal Polres Kotim yang merespons laporan dari Dewan Adat Dayak (DAD) Kotim, Rabu (17/11). Dia menjalani pemeriksaan sekitar tiga jam, dari pukul 09.00 – 12.00 WIB.
Rimbun mengaku dicecar sejumlah pertanyaan mengenai pernyataannya di sejumlah media massa yang dianggap pencemaran terhadap DAD Kotim. ”Kalau tidak salah ada 27 pertanyaan yang ditanyakan seputar pernyataan saya di media massa beberapa waktu lalu soal sidang adat terhadap bos miras,” ujarnya.
Kepada petugas, Rimbun menjelaskan tujuannya membuat pernyataan, yakni mempertanyakan kejelasan sidang adat. Hal itu sebagai bagian dari konteks pelaksanaan fungsi legislator. Apalagi dia juga mendapat pertanyaan dari konstituennya mengenai tindak lanjut sidang adat soal miras saat itu.
”Saya jawab pertanyaan mereka, bahwa apa yang saya lakukan itu adalah bentuk pelaksanaan tugas dan fungsi kontrol, serta menindaklanjuti berbagai aspirasi publik yang saat itu liar sekali. Hal itu sejalan dengan tugas saya sebagai wakil rakyat,” ungkapnya.
Kepada polisi, Rimbun menegaskan, dirinya sebagai bagian dari putra daerah memiliki beban untuk terus mengawasi dan mengingatkan agar lembaga adat berada di posisi yang benar. Hal yang disampaikannya melalui pemberitaan di sejumlah media massa kala itu merupakan hal yang wajar.
”Lalu, siapa lagi yang menegur dan menyampaikan kalau ada yang tidak pas? Saya sebagai orang Dayak punya tanggung jawab untuk memastikan bahwa adat Dayak itu memang betul-betul dilaksanakan dengan baik sesuai ketentuan dan peraturan,” tegas Rimbun.
Catatan Radar Sampit, pernyataan Rimbun yang berujung pelaporan ke polisi itu disampaikan pada 22 September lalu. Sejumlah media massa mengutip pernyataannya yang mempertanyakan kelanjutan sidang adat terhadap bos miras yang ketika itu belum ada kejelasan.
Dalam komentarnya yang dimuat Radar Sampit pada edisi 23 September, Rimbun menduga sidang adat kemungkinan sudah selesai. Sebab, ketika dia melintasi toko yang dilaporkan, tidak ada lagi penanda adat yang dipasang untuk menyegel toko tersebut.
”Saya lewat kok sudah tidak ada dan sepertinya beraktivitas lagi. Bagaimana bisa terjadi? Artinya, ada sesuatu yang belum diketahui publik dan harusnya lembaga adat bisa menyampaikan perkembangan proses atas pelanggaran adat tersebut,” tegas Rimbun.
Pernyataan itulah yang akhirnya menuai reaksi dari DAD Kotim. Beberapa hari setelah pernyataan itu, pada 30 September 2021, DAD Kotim melaporkan hal tersebut ke Polres Kotim. Laporan itu disampaikan Ketua Harian DAD Kotim Untung TR bersama jajarannya.
”Kami secara resmi melaporkan salah satu anggota dewan tersebut ke polisi. Sebab, apa yang disampaikannya (Rimbun, Red) melalui surat kabar itu tidak benar,” kata Untung, Kamis (30/9) lalu.
Menurutnya, dalam pemberitaan disebutkan, DAD Kotim telah melepas penanda adat di toko miras yang sempat ribut dengan Wabup Kotim. Padahal, lanjutnya, penanda adat itu masih terpasang. Di sisi lain, Rimbun juga dinilai menyebutkan bahwa persidangan adat sudah selesai dan tidak dipublikasikan kepada masyarakat Kotim.
”Tandanya tidak hilang. Coba saja lihat sendiri. Di lokasi kami ada meletakkan tonggak kayu yang diikat kain merah. Itu artinya sidang perdamaian sedang berjalan,” ujarnya.
Berdasarkan jejak kronologis yang dihimpun Radar Sampit, sebelum keluarnya pernyataan Rimbun di media massa, kelanjutan sidang adat miras tersebut belum ada kejelasan. Hal itu membuat sebagian publik mempertanyakan kelanjutannya, termasuk menyampaikan langsung pada Rimbun.
Setelah pernyataan Rimbun keluar, baru ada kejelasan pelaksanaan sidang adat. Sehari setelah Rimbun berkomentar, DAD Kotim memberikan penjelasan bahwa sidang adat digelar 2 Oktober. Menurut Untung, sidang adat dilakukan setelah sebelumnya melalui proses pertemuan antara pihak pelapor dengan pemilik toko miras.
”Tidak mudah melalui proses itu. Ada enam kali pertemuan hingga dilaksanakan sidang adat,” tegas Untung, 23 September lalu.
Akan tetapi, selain memberikan penjelasan melalui media massa, DAD Kotim juga ternyata membuat laporan resmi terhadap Rimbun. Tudingannya berupa pencemaran nama baik terhadap lembaga adat tersebut, serta pernyataan yang tidak sesuai fakta. Laporan itu kemudian diproses Polres Kotim dengan memanggil Rimbun.
Proses hukum itu secara tidak langsung akan mengancam kebebasan berpendapat di ruang publik. Pasalnya, Radar Sampit mencatat pernyataan Rimbun lahir dari ketidakjelasan sidang adat yang sebelumnya disampaikan DAD Kotim pada Juni 2021, beberapa bulan sebelum Rimbun membuat pernyataan.
Selain itu, dalam pemberitaan yang diterbitkan Radar Sampit, Rimbun telah menegaskan, tak mengeluarkan pernyataan bernada melecehkan lembaga adat, baik secara langsung atau tersirat. Sebaliknya, mengingatkan agar lebih serius menyikapi keresahan publik terkait sidang adat yang belum jelas saat itu.
Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Tariu Borneo Bangkule Rajakng (TBBR) Provinsi Kalteng Agus Sanang mengatakan, pernyataan Rimbun yang mempertanyakan tindak lanjut kasus miras merupakan sebuah kewajaran. Dia menyesalkan pelaporan terhadap pihak yang mempertanyakan proses polemik miras tersebut.
Selain sebagai bagian dari kebebasan berpendapat yang dilindungi UUD 1945, pernyataan Rimbun juga merupakan bagian dari fungsi kontrol terhadap permasalahan yang membuat gaduh publik. Proses hukum terhadap Rimbun dikhawatirkan akan membuat publik takut mengemukakan pendapat apabila terjadi sesuatu yang janggal di ruang publik atau pemerintahan.
DPW TBBR yang juga dikenal dengan Pasukan Merah sebelumnya telah mengingatkan, masalah itu harusnya tak sampai pada proses hukum. ”Kami keberatan mempolisikan orang yang mempertanyakan (sidang adat, Red). Harusnya bukan begitu, karena kasus ini (miras, Red) jadi perhatian. Jangan sampai karena urusan miras, kita ribut,” ujar Agus Sanang, 3 Oktober lalu. (ang/ign)