Momen Hari Antikorupsi sedunia yang jatuh kemarin (9/12), jadi momentum Jaksa Penyidik Cabang Kejaksaan Negeri Kapuas (Cabjari) menjebloskan Kepala Desa (Kades) Dadahub, GS, ke penjara terkait perkara dugaan korupsi pungutan desa dalam pembuatan Surat Pernyataan Tanah (SPT). Sebelum ditahan, tersangka diperiksa sekitar lima jam.
Kepala Cabjari Palingkau Amir Giri mengatakan, pihaknya memeriksa tersangka dari pukul 10.00 – 15.00 WIB dan mencecarnya dengan 43 pertanyaan. Setelah itu, tersangka langsung dijebloskan ke Rutan Kelas IIB Kuala Kapuas.
”Yang bersangkutan kami tahan selama 20 hari ke depan guna pemeriksaan lebih lanjut terhadap kasus dugaan korupsi yang dilakukannya,” katanya, Kamis (9/12).
Mantan Kasi Tindak Pidana Khusus Kejari Pulang Pisau (Pulpis) ini menuturkan, tersangka diancam pidana Pasal 12 Huruf e atau Pasal 11 UURI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
”Ancaman pidana pada pasal tersebut dapat dilakukan penahanan sesuai dengan ketentuan Pasal 21 Ayat (4) Huruf a KUHAP. Tersangka juga dikhawatirkan melarikan diri, menghilangkan barang bukti, dan mengulangi perbuatannya. Tersangka yang didampingi penasihat hukumnya tidak melakukan perlawanan,” katanya.
Amir menambahkan, pihaknya masih mendalami kasus tersebut. Termasuk kemungkinan adanya pihak lain yang terlibat. ”Tidak menutup kemungkinan apabila terdapat alat bukti yang cukup, bisa bertambah tersangkanya. Saat ini penyidik masih bekerja, ditunggu saja hasilnya,” katanya.
Terungkapnya kasus tersebut pada Oktober 2021 lalu, setelah ada laporan dari masyarakat tentang dugaan tindak pidana gratifikasi di Desa Dadahup dalam pembuatan SPT. Ada masyarakat yang keberatan karena harus membayar uang sebesar Rp 5 juta membuat administrasi SPT.
Meski dipatok harga tinggi, dengan berat hati warga membayarnya dan diserahkan langsung kepada GS pada Desember 2018 dengan syarat dibuatkan kuitansi pembayaran dan ditandatangani di atas materai, serta dicap stempel Kepala Desa Dadahup.
Berbekal kuitansi tersebut, GS dilaporkan ke Cabjari Palingkau. Setelah dilakukan penyelidikan selama kurang dari satu bulan, ditemukan fakta modus GS membuat dan menetapkan Peraturan Desa tentang Pungutan Desa. Perdes tersebut ternyata cacat hukum karena mekanisme penetapan tidak sesuai peraturan perundangan dan bertentangan dengan peraturan di atasnya.
GS juga menerbitkan SPT sebanyak 363 SPT sepanjang tahun 2018 sampai 2021. Dari 363 SPT tersebut dilakukan pungutan desa yang bervariasi, yaitu sebelum diterbitkan perdes tersebut masyarakat harus membayarnya sebesar Rp 250.000 per SPT.
Setelah perdes ditetapkan pada 17 September 2021, GS mematok biaya pembuatan SPT sebesar Rp 750 ribu per SPT untuk lahan usaha dan sebesar Rp 500 ribu untuk pekarangan. Total keseluruhan penerimaan pungutan tersebut sejak 2018 sampai 2021 sebesar Rp 253.250.000. (der/ign)