PT Menteng Jaya Sawit Perdana (MJSP) dinilai telah menggarap kawasan hutan dalam aktivitasnya. Perusahaan perkebunan yang beroperasi di wilayah Kecamatan Mentaya Hilir Utara, Kabupaten Kotawaringin Timur tersebut terancam sanksi denda mencapai Rp 94 miliar. Hal tersebut diungkap Kepala Bagian Sumber Daya Alam Sekretariat Daerah Kotim Rody Kamislam dalam pertemuan dengan DPRD Kotim, Rabu (26/1) lalu. Dia menjelaskan, PT MJSP memulai penjajakan usahanya sekitar tahun 2005.
Saat itu, lanjutnya, perusahaan mendapatkan izin lokasi di Bagendang Tengah dengan luasan 7.400 hektare. Kemudian, pada 1 Oktober 2013, perusahaan melakukan pembaharuan izin lokasi. Lahan tersebut berkurang menjadi 5.893 hektare. Pada 16 Desember 2016, di dalam izin lokasi PT MJSP, terbit Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Rakyat (IUPHHK-HTR) seluas 3.000 hektare. Selanjutnya, 1 Febuari 2019 izin lokasi direvisi kembali dari 5.800 hektare, menyusut menjadi 2.384 hektare.
Hingga akhirnya pada 15 Januari 2020, terbit Izin Usaha Perkebunan (IUP) melalui perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik atau Online Single Submission (OSS). Meski begitu, kata Rody, PT MJSP melakukan aktivitasnya di dalam kawasan hutan, yakni di dalam kawasan hutan produksi dan hutan produksi konversi. Karena kawasan PT MJSP seluas 2.384 hektare berada dalam kawasan hutan, maka perusahaan wajib mengurus izin pelepasan kawasan . ”Di dalam areal 2.384 hektare tersebut ada hutan produksi dan ada hutan produksi konversi,” ungkap Rody.
Rody menjelaskan, dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan menyebutkan, areal yang masuk kawasan HPK bisa dilakukan pelepasan langsung menjadi areal pengguna lain (APL). Pada 2015 lalu, PT MJSP telah mengantongi 700 hektare kawasan yang dilepaskan dari sebelumnya berstatus HPK. Akan tetapi, di kawasan itu ada pula hutan produksi dan sudah terlanjur ditanami, sehingga harus dilakukan penukaran kawasan. Perusahaan lalu mengajukan lahan di wilayah Kecamatan Antang Kalang menjadi kawasan HP sebagai tukar guling sekitar 990 hektare, sehingga total kawasan hutan yang sudah dilepas di areal PT MJSP adalah 1.600 hektare.
”Luasan itu yang diajukan untuk hak guna usaha (HGU). Terhadap sisanya 700 hektare, sedang berproses untuk mendapatkan rekomendasi dari KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Red),” kata Rody. Berkaitan dengan keterlanjuran tanam oleh pihak perusahaan dalam kawasan hutan, jelasnya, bisa diselamatkan dari proses hukum pidana. Hal itu mengacu skema penyelesaian melalui Undang-Undang Cipta Kerja.
”Berkaitan dengan keterlanjuran menanan dalam kawasan hutan itu, perusahaan akan dikenakan denda. Saya hitung sekitar Rp 94 miliar,” katanya. Selain itu, lanjut Rody, PT MJSP diwajibkan memberikan 20 persen dari areal yang sudah dilakukan pelepasan kawasan, yakni dari 1.600 hektare areal menjadi plasma kepada masyarakat sekitarnya. Pemkab Kotim akan menuntut pemenuhan kewajiban tersebut kepada manajemen PT MJSP.
”Solusi untuk masyarakat sekitar, PT MJSP itu ada gabungan kelompok tani (gapoktan). Kalau dikelola dengan benar, masyarakat di sana akan sejahtera. Ada lahan 3.000 hektare. Kemudian untuk PT MJSP memastikan 20 persen dari arealnya wajib untuk masyarakat. Jaminan untuk itu adalah pemerintah daerah,” tandasnya. (ang/ign)