Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Palangka Raya bersama PT Angkasa Pura selaku pengelola Bandara Tjilik Riwut Palangka Raya, menggandeng Kejaksaan Tinggi Kalimantan Tengah (Kalteng) untuk melawan gugatan sengketa lahan yang dilayangkan warga. Korps Adhyaksa tersebut menyiapkan tim terbaik untuk menyelamatkan aset bandara agar tak mengganggu pelayanan publik. Penunjukan Kejati sebagai pengacara negara itu didasari surat kuasa Kepala BPN Kota Palangka Raya Budhy Sutrisno. Kejati kemudian menunjuk Jaksa Pengacara Negara Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara (Datun) Rahmat Hidayat dan Amardi P Barus untuk menghadapi gugatan sengketa berupa ganti rugi sebesar Rp 264 miliar dari Umin Duar Nyarang tersebut.
Kajati Kalteng Iman Wijaya mengatakan, pihaknya akan segera mempelajari serta menguasai pokok persoalan yang digugat. Tim terbaik disiapkan menghadapi gugatan sengketa lahan tersebut, karena objek perkara merupakan fasilitas vital yang menyangkut hajat orang banyak dan memengaruhi roda perekonomian di Kalteng. ”Harapannya, Jaksa Pengacara Negara bisa bekerja maksimal, profesional, dan berkualitas,” ujar Iman, Rabu (30/3).
Asisten Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara Edi Irsan Kurinawan menambahkan, pihaknya bersama tim penyelesaian sengketa BPN Kota Palangka Raya, akan bersama-sama mempelajari substansi gugatan untuk memberikan jawaban disertai bukti yang menguatkan penguasaan lahan Bandara Tjilik Riwut yang diklaim penggugat.
”Selaku JPN mengharapkan agar gugatan terhadap objek yang menjadi urat nadi perekonomian masyarakat Kalimantan Tengah ini dapat kami menangkan dan aset negara juga bisa diselamatkan,” tegasnya. Umin Duar Nyarang sebelumnya mengajukan gugatan pada PT Angkasa Pura II, BPN Kota Palangka Raya, dan Dinas Perhubungan Kalteng terkait lahan di kawasan Bandara Tjilik Riwut. Dia meminta ganti rugi sebesar Rp 264 miliar. Nilai itu didasari kerugian yang dialaminya dan harga lahan di kawasan tersebut.
Luasan lahan yang diklaim miliknya itu kurang lebih 133 hektare di Jalan Adonis Samad. Umin Duar menggandeng tiga pengacara dalam perkara tersebut, yakni dari Kantor Hukum Advokat Arry Sakurianto, Eka Amirza, dan Emen Gumeri. Kepada Radar Sampit sebelumnya, Umin Duar mengaku telah beberapa kali melakukan komunikasi dan mediasi terkait persoalan tersebut, namun tak ada kejelasan ganti rugi yang sesuai. Dia menyebut lahan itu milik orang tuanya. Legalitasnya berupa dokumen pertanahan yang terbit tahun 1974 dari Kepala Kampung Pahandut Duris P Unjik yang dibenarkan lagi tahun 1983 oleh Damang Adat Pahandut Simal Penyang.
”Saya memiliki dokumen adat itu. Juga ada bukti kepemilikan sesuai surat Kepala Kampung Pahandut berlandaskan Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor 2 Tahun 1962. Semua nanti akan kami sampaikan di pengadilan,” kata warga Jalan Banteng ini. (daq/ign)