SAMPIT – Aksi premanisme yang diduga merajalela di sejumlah stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) Kota Sampit membuat para sopir sengsara. Mereka dipaksa membayar uang dengan kedok parkir dengan nilai tak masuk akal. Sejumlah sopir mengaku harus menyetor hingga ratusan ribu rupiah.
”Ini uang kejahatan. Bukan uang yang sedikit jumlahnya. Paling murah kami membayar ke preman di SPBU dari Rp 50 ribu, Rp 150 ribu, Rp 200, Rp 250 ribu, dan paling mahal Rp 600 ribu. Kalikan saja berapa unit kendaraan, berapa banyak preman meraup keuntungan dari sopir,” ucap seorang sopir yang meminta namanya tak disebutkan, Sabtu (13/9) lalu.
Menurutnya, pungutan itu membuat para sopir sengsara. Mereka tak ada pilihan selain membayar, karena sangat memerlukan solar. Di sisi lain, dia menyesalkan kejahatan tersebut tidak ditindaklanjuti aparat berwenang.
”Setiap SPBU dapat kiriman solar dari Pertamina. Dapat berapa unit truk yang kebagian jatah. Sehari saja, berapa banyak uang yang mereka hasilkan dari memeras, memalak, membegal sopir?” ujarnya.
”Tidak mungkin. Kejahatan nyata di depan mata sampai tak tahu. Jangan-jangan ada persekongkolan atau kejahatan berjemaah. Di situ ada korban, pelaku jelas, barang bukti jelas. Kasihan kami para sopir truk di Sampit harus bayar uang masuk sebegitu banyaknya untuk uang masuk SPBU atau alasan parkir,” tambahnya.
Sebagai seorang sopir, dia mengaku keberatan dengan aksi pemalakan yang dilakukan oleh preman di SPBU. Untuk mendapatkan solar, mereka dipersulit.
”Mencari solar melebihi sulitnya mengantre menunggu bantuan sosial. Kami merasa terbebani. Kami juga punya keluarga. Kami juga perlu uang untuk membiayai hidup keluarga sehari-hari,” keluhnya.
Sopir lainnya juga berharap Polres dan Pemkab Kotim menghentikan bisnis pungutan di beberapa SPBU di Kota Sampit. ”Mohon Pak Kapolres Kotim, Bupati Kotim, agar pungli premanisme di beberapa SPBU di Kotim segera ditindaklanjuti,” ujarnya.
Dia juga kecewa dengan tarif yang dipatok preman. ”Parkir antrean di SPBU bisa capai Rp 400 ribu per unit. Ini parkir atau bayar hotel?” katanya.
Sopir berinisial B, mengaku dimintai parkir sebesar Rp 300 ribu di SPBU Jalan HM Arsyad (Bundaran KB), Rp 300 ribu di SPBU Jalan Jenderal Sudirman Km 3, dan Rp 150 ribu di Jalan Tjilik Riwut Km 8 Kotabesi.
”Saya ini untung-untungan saja. Memang tidak semua SPBU ada preman yang narik biaya parkir. Saya ngisi di sini (SPBU Jalan MT Haryono). Alhamdulillah tidak dikenakan parkir,” ucap sopir ini yang mengangkut kernel ke sejumlah kabupaten ini.
Untuk pengisian BBM penuh, truknya mampu menampung dengan kapasitas hingga 230 liter. Namun, setiap SPBU di Kota Sampit hanya membatasi 80 liter solar dan sisanya dexlite.
Harga solar per liter dikenakan Rp 5.150 dan dexlite Rp 18.150. Apabila mengisi penuh, dia harus merogoh kocek sebesar Rp 3.134.150. ”Kalau full tangki bisa pulang pergi (PP) Sampit – Kuala Kurun. Tapi, sehari saja ngantre itu dari jam 5 subuh sampai jam 2 siang baru dapat minyak. Itu pun untung-untungan. Belum tentu ngantre dapat minyak. Bisa-bisa tak kebagian,” ujar B.
Ada pula sopir yang tidak ingin ambil pusing, rela membayar ke preman asalkan mendapatkan jatah solar melebihi standar. Tarif pungli yang dikenakan terkadang ditentukan berdasarkan seberapa banyak solar yang dibutuhkan.
”Ada yang dikenakan Rp 50 ribu sampai ratusan ribu. Itu tergantung isian solarnya. Biasanya preman lihat tangki kendaraannya, dia sudah tahu. Kalau isiannya banyak, bayarannya juga banyak,” kata salah seorang sopir yang mengantre di SPBU Jalan MT Haryono.
Informasi dihimpun Radar Sampit, setiap SPBU di Kota Sampit rata-rata dalam sebulan kedatangan 3-4 kali datang pasokan solar. Setiap kali datang, dijatah 8.000 liter. Kuota ini sudah dibatasi dan mengalami penurunan dibanding beberapa tahun lalu yang dijatah 10-16 liter solar per sekali kedatangan pasokan.
Diduga kuat adanya mafia solar yang menguasai SPBU dengan sistem jaringan ‘orang dalam’. Bahkan, disebut-sebut ada keterlibatan aparat yang juga bermain. Barang subsidi seperti solar sangat diperlukan pengguna kendaraan, terutama truk angkutan berat.
Dari penelusuran Radar Sampit, sopir diintimidasi tak boleh berkata jujur, sehingga tak sedikit yang berani mengungkap kasus pungli di SPBU. Radar Sampit juga menemukan pelangsir yang mengantre untuk mendapatkan solar.
Meski demikian, pelangsir itu mengaku hanya dikenakan Rp 50 ribu yang dia setorkan ke preman. Dia melangsir untuk kepentingan pribadi, mengelola usahanya.
”Pelangsir hanya dibatasi pengisian solar 50 liter dan 30 liternya dexlite. Bayar ke preman Rp 50 ribu,” ujarnya. (tim/ign)