Impitan ekonomi jadi faktor utama para perempuan penghibur rela menjajakan diri. Mereka dengan mudah dimangsa muncikari. Jadi pengumpul pundi uang dari bisnis pelacuran.
LIPUTAN KHUSUS
Aroma perayaan hari kemerdekaan mulai terasa ketika Radar Sampit memasuki kawasan Kelurahan Pasir Putih, sekitar pertengahan Agustus lalu. Meski matahari sudah terbenam, eks lokalisasi yang dikenal dengan sebutan Pal 12 itu masih ramai.
Malam itu, sejumlah warga setempat berkumpul di sebuah bangunan yang biasa dipakai sebagai tempat Posyandu. Pertandingan yang digelar dalam rangka peringatan HUT RI ke – 77 tersebut menyedot perhatian mereka.
Di balik keramaian tersebut, Radar Sampit mendapati sejumlah pekerja seks komersial (PSK), baik tua maupun muda, sedang menjajakan diri. Mereka tersebar di sejumlah titik.
Radar Sampit mencatat ada 12 titik yang menjadi tempat berkumpulnya para wanita penghibur tersebut. Sebagian besar perempuan berpakaian mini itu merupakan perantau dari Jawa.
Setelah menyusuri sejumlah jalur yang menyediakan layanan kenikmatan, Radar Sampit berhenti di sebuah rumah yang menjajakan berbagai minuman. Lokasinya berada di jalur I. Ada dua perempuan yang sedang duduk menunggu pelanggan.
”Kopi mas,” kata salah seorang wanita itu kepada Radar Sampit. Tawaran itu langsung diterima.
Tak lama, segelas kopi panas tiba di meja. Dari perbincangan dengan para wanita itu, mereka mengaku berasal dari Bandung, Jawa Barat. Ada belasan wanita lainnya yang juga berasal dari tempat yang sama.
”Iya, mas. Kami semua dari Bandung,” kata salah seorang wanita penghibur yang mengaku baru berusia 22 tahun itu.
Setelah mengobrol cukup lama, tanpa basa-basi lagi, wanita itu mengungkap tarif yang harus dikeluarkan jika ingin menggunakan ”jasanya”. Untuk berhubungan badan dengannya dibanderol sebesar Rp 400 ribu dengan durasi tidak lebih dari satu jam.
”Kalau servisnya gak diragukan lagi. Mas pasti suka,” ujarnya sambil menggoda.
Radar Sampit tak langsung menyambut tawaran tersebut. Setelah menolak secara halus, Radar Sampit beralih ke tempat lainnya untuk menggali informasi lebih dalam terkait bisnis esek-esek tersebut. Terutama praktik perdagangan manusia yang dilakukan dengan menjebak para korbannya.
Di lokasi ke dua yang tak jauh dari lokasi pertama, Radar Sampit menemukan wanita yang usianya terlihat lebih muda. Dia mengaku usianya baru 19 tahun. Juga asal Bandung.
Parasnya menarik. Rambut panjangnya yang lebih sebahu menambah aura kecantikannya di bawah siraman lampu malam itu. Perkenalan Radar Sampit dengan wanita belia itu membawa kami ke sebuah tempat seperti gang. Di dalamnya terdapat banyak kamar. Kami masuk di salah satu kamar di lokasi tersebut.
Sebagai informasi, Radar Sampit sengaja memilih jalur I berdasarkan penuturan Salimar (22, nama samaran) yang sebelumnya mengaku berhasil kabur dari lokalisasi itu. Dia dulunya berada di tempat yang sama. Masih ada rekannya yang lebih muda darinya dan di bawah umur terjebak di lokasi itu.
Di kamar tersebut, wanita bernama Kirana itu (nama samaran), menceritakan lebih jelas mengenai kisahnya sampai terjebak di lokasi itu. Dia mengaku sudah lima bulan bekerja di lokalisasi tersebut.
Kirana mengaku terpaksa terjerumus dalam bisnis haram itu sebagai jalan pintas untuk menyelamatkan ibunya. ”Ibu saya TKW (tenaga kerja wanita) di Arab Saudi. Saat ini dia sedang sakit. Tapi, dia tidak bisa pulang karena tidak ada biaya. Makanya saja kerja seperti ini untuk memulangkan ibu saya,” kata wanita berkulit putih ini.
Awalnya, kata Kirana, pada Maret 2022 lalu, dia meminta tolong pada salah satu tetangganya mencarikan pekerjaan untuknya. Tetangganya menawarkan pekerjaan dengan lokasi di Kalimantan Tengah. Tanpa pikir panjang, Kirana langsung mengiyakan.
Padahal, dia mengaku saat itu tidak tahu apa pekerjaan yang ditawarkan tersebut. Namun, karena demi orang yang melahirkannya, dia nekat tetap berangkat tanpa informasi pasti soal pekerjaan yang akan dijalaninya. Kirana pun diberangkatkan dari Kota Bandung ke Sampit, Kabupaten Kotawaringin Timur.
Ketika menjejakkan kakinya di Sampit, Kirana dijemput seseorang yang belakangan baru dia ketahui sebagai bosnya yang biasa disebut mami. Tanpa paksaan, Kirana kemudian menyetujui semua aturan dan persyaratan yang dijelaskan muncikarinya itu.
”Bukan diperdagangkan sih bang. Tapi ini karena kemauan saya juga,” kata Kirana, mencoba meyakinkan Radar Sampit ketika ditanya dirinya menjadi korban perdagangan manusia.
Kirana menuturkan, saat ini dirinya sedang berjuang, meski kecil kemungkinan bisa memulangkan ibunya kembali ke Indonesia. Sebab, utangnya kepada pengelola bisnis esek-esek itu saat ini sudah mencapai sebesar Rp 15 juta.
”Itu utang dihitung sejak biaya perjalanan saya dari Bandung ke Sampit. Kemudian biaya kamar beserta isinya. Setiap hari kamar itu dihitung terus. Jadi, utang pun terus bertambah setiap harinya,” ujarnya.
Mengenai keluarganya yang lain, Kirana tak mau terbuka lebih jauh. Sebab, dia meyakini tidak ada satu pun keluarganya yang mempedulikannya. ”Gak ada yang peduli. Mau saya mati pun mereka gak bakal peduli dengan saya,” ujarnya mengakhiri pembicaraan malam itu.
Sementara itu, warga setempat sudah terbiasa dengan bisnis esek-esek di lokalisasi yang ditutup Pemkab Kotim pada 5 Desember 2017. Warga setempat, Y (25), menuturkan, lokalisasi itu masih beroperasi meski pernah ditutup pemerintah.
”Sudah biasa. Karena memang dari dulu sampai sekarang daerah ini jadi tempat prostitusi,” ujar Y.
Y membantah mengenai dugaan ada anak di bawah umur yang dipekerjakan di lokalisasi itu. Menurutnya, warga dan pengelola bisnis esek-esek tersebut telah menyepakati tidak melibatkan anak di bawah umur menjadi PSK.
”Kami dan warga di sini sudah sepakat dengan pengelola agar tidak ada PSK anak di bawah umur. Apabila ditemukan ada PSK anak di bawah umur, pengelolanya pun akan kami laporkan kepada pihak berwajib,” katanya.
Faktanya, Radar Sampit memperoleh informasi ada anak di bawah umur yang memang dipekerjakan melayani nafsu pria hidung belang. Untuk menyiasatinya, muncikari memalsukan kartu tanda penduduk (KTP) anak tersebut dengan menambah usianya. Korban yang terimpit ekonomi jadi mangsa segar bagi muncikari untuk menjeratnya masih dalam lingkaran bisnis haram.
Digerebek Aparat
Belum sebulan penelusuran Radar Sampit terkait dugaan perdagangan manusia di lokalisasi itu, aparat Polda Kalteng melakukan penggerebekan pada Sabtu (10/9) malam. Lokasinya di jalur I, tempat Radar Sampit mendalami informasi praktik haram tersebut.
Martaban (71), Ketua RT setempat mengatakan, ada belasan perempuan serta satu orang muncikarinya yang diamankan petugas kepolisian. ”Awalnya gak menyangka ada petugas datang ke rumah. Mereka mengaku dari Polda Kalteng. Meminta saya hadir dalam penggerebekan di wilayah RT saya,” katanya.
Martaban langsung bergegas menyiapkan diri hadir dalam operasi kepolisian tersebut. Dia lalu berjalan sesuai arahan petugas di jalur I. Di lokasi, dia melihat belasan pekerja seks komersial (PSK) dikumpulkan petugas berpakaian preman itu. Tak hanya itu, telepon genggam milik PSK juga turut disita.
”Saat saya di TKP, mereka (PSK, Red) sudah dikumpulkan di depan. Tempat biasa mereka nongkrong. Satu orang muncikarinya juga ikut diamankan petugas,” kata pria yang biasa dipanggil Pa'le itu.
Martaban mengungkapkan, penggerebekan itu dilakukan lantaran pengelola bisnis esek-esek di jalur tersebut melibatkan anak di bawah umur. Sebagai Ketua RT setempat, dia mengaku kaget dengan informasi itu.
Pasalnya, kata Martaban, selama ini warga di eks lokalisasi Pal 12 sepakat agar bisnis pelacuran tidak melibatkan anak di bawah umur. Muncikari yang diamankan dinilai melanggar perjanjian tersebut.
”Apalagi pelaku yang diamankan ini (muncikari, Red), juga terlibat melakukan perdagangan orang, yakni anak di bawah umur,” katanya.
Menurut Martaban, pelaku membuat KTP palsu untuk dua PSK yang masih di bawah umur tersebut agar usianya mencukupi. Salah seorang anak di bawah umur tersebut merupakan Kirana yang sebelumnya menceritakan kisahnya kepada Radar Sampit.
Martaban menambahkan, penangkapan itu juga dilakukan atas dasar laporan masyarakat di Polda Jawa Barat terkait adanya praktik prostitusi di Sampit yang melibatkan anak di bawah umur. Polda Jawa Barat lalu berkoordinasi dengan Polda Kalteng dan berhasil mengungkap praktik jahat tersebut. Pelaku beserta belasan PSK kemudian dibawa ke Mapolres Kotim untuk diperiksa.
”Kalau seandainya saya tahu dari dulu ada anak di bawah umur, pengelolanya pun akan saya laporkan ke aparat kepolisian. Karena itu sudah jelas melawan hukum dan tidak ada toleransi bagi pelakunya,” tegasnya.
Pantauan Radar Sampit, dalam pengungkapan tersebut, pelaku beserta 12 PSK lainnya yang diamankan diperiksa di ruang berbeda. Salah seorang petugas mengatakan, muncikari dan PSK-nya akan dibawa ke Polda Kalteng untuk diperiksa lebih dalam.
”Untuk informasi lebih lanjutnya, bisa langsung dengan pimpinan kami,” ucap salah seorang petugas. (tim/bersambung)