SAMPIT – Pemerintah pusat menurunkan tim gabungan untuk mengaudit sejumlah perusahaan besar swasta (PBS) perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim). Langkah itu diharapkan dapat menguak dan menyelesaikan persoalan belasan perkebunan yang tak memiliki hak guna usaha (HGU) yang merugikan Kotim.
”Tim dari pusat sudah turun dan kami dari pemerintah daerah mendampingi mereka. Mereka akan ada turun lagi. Untuk kebutuhan data yang mereka perlukan, sambil kami bantu siapkan,” kata Asisten II Bidang Administrasi Perekonomian dan Pembangunan Kotim Alang Arianto, Sabtu (24/9).
Alang menjelaskan, audit perkebunan kelapa sawit tersebut sesuai arahan Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Tim yang turun terdiri dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), pemerintah daerah, dan instansi lainnya.
Tim mengaudit tata kelola kelapa sawit dari hulu hingga hilir. Perkebunan yang didatangi ditanya soal perizinan, luas konsesi, pabrik minyak kelapa sawit, sampai pabrik minyak gorengnya.
”Kami, pemerintah daerah hanya mendampingi, karena yang menentukan titik pantau adalah tim tersebut dari data yang mereka miliki. Mereka menyandingkan data perizinan dengan faktualnya. Hasilnya kami belum tahu, karena mereka yang mengolahnya,” ujar Alang.
Menurut Alang, perbaikan tata kelola perkebunan kelapa sawit menjadi perhatian, karena bidang itu menjadi primadona, sehingga diharapkan bisa dikelola secara berkelanjutan dan memberikan kesejahteraan bagi masyarakat.
”Kotim paling luas sawitnya di Indonesia. Makanya dari Kemenko, KPK, bahkan dari Kementerian ATR/BPN selalu merujuk daerah ini. Termasuk juga karena banyak permasalahan yang terjadi. Kotim termasuk daerah percontohan kebijakan satu peta. Itu juga yang saling keterkaitan. Makanya sedikit-sedikit kami perbaiki,” kata Alang.
Alang mengaku belum mengetahui hasil audit beberapa perkebunan yang dilakukan tim tersebut. ”Belum ada hasil yang disampaikan ke pemerintah daerah. Apalagi tim ini dari pusat semua,” katanya.
Audit tersebut merupakan upaya pemerintah membangun sistem pengawasan industri sawit yang terintegrasi. Beberapa data penting yang dikumpulkan tim mulai dari jumlah perusahaan dan luas perkebunan, data kelengkapan legalitas perusahaan sesuai ketentuan undang-undang, dan peraturan lainnya, baik legalitas yang dimiliki dan belum dimiliki perusahaan.
Selain itu, tim juga mendata luas plasma perkebunan sawit dan kemitraan yang menjadi kewajiban perusahaan. Kemudian, jumlah pabrik kelapa sawit yang berlokasi di kabupaten, serta data pemilik atau pengelolanya.
Dari audit itu, publik di Kotim berharap dapat menguak persoalan adanya belasan perkebunan yang tak memiliki HGU. Pasalnya, hal tersebut telah merugikan Kotim karena hilangnya potensi pendapatan yang mencapai setengah triliun per tahun.
”Semoga saja ada hasilnya dan mengungkap persoalan perkebunan yang tak memiliki HGU,” kata Rendy, warga Sampit yang mengaku kerap mengikuti masalah lingkungan hidup di Kotim.
Ketua Komisi I DPRD Kotim Rimbun sebelumnya mengungkap ada 17 perkebunan yang tidak mengantongi HGU. Hal tersebut jadi potensi kerugian daerah dan menguntungkan oknum tertentu. Pasalnya, Kotim tidak bisa mendapatkan BPHTB sekitar Rp 500 miliar lebih.
Rimbun menjabarkan, belasan perusahaan itu harusnya memiliki kewajiban membayar BPHTB. Total luasan dari 17 perkebunan yang tak memiliki HGU sekitar 1.341.554.800 meter kuadrat berupa tanah dan bangunan. Nilai BPHTB yang harus dibayar sebesar Rp 551.376.022.800. ”Pemkab Kotim sebenarnya tahu hal itu,” katanya.
Rimbun menuturkan, pihaknya tengah mempelajari hal tersebut. Untuk mencegah kebocoran, DPRD Kotim akan berkoordinasi dengan semua pihak terkait. Apalagi dengan kondisi keuangan daerah yang berat seperti sekarang, memerlukan sumber pendapatan lain untuk membiayai pembangunan. (ang/ign)