SAMPIT – Sengketa perkebunan sawit dengan masyarakat di Kabupaten Kotawaringin Timur tak berkesudahan. Warga Kecamatan Antang Kalang siap melakukan aksi besar-besaran terhadap perkebunan di wilayah itu yang disebut menggarap lahan masyarakat. Perusahaan dinilai mengklaim lahan warga masuk dalam Hak Guna Usaha (HGU).
”Sebagai pemilik lahan dan perwakilan masyarakat adat, pemilik lahan di dalam HGU PT Bangkitgiat Usaha Mandiri (BUM) di Kecamatan Antang Kalang, mohon kepada Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan mengeluarkan lahan warga dari HGU (enclave, Red),” kata Diyu, perwakilan warga Antang Kalang, Rabu (28/9).
Diyu menuturkan, warga yang akan melakukan aksi berasal dari sejumlah desa. Upaya persuasif tengah ditempuh. Pihaknya menyurati sejumlah instansi hingga Badan Pertanahan Nasional (BPN) di semua tingkatan, keberatan dengan terbitnya HGU di lahan masyarakat.
Menurut Diyu, dalam perjalanan penerbitan perizinan PT BUM, warga telah melakukan berbagai upaya agar tanahnya dikeluarkan dari perizinan melalui rapat di tingkat kecamatan sampai rapat dengar pendapat (RDP) di DPRD Kotim pada 2010 dan 2013.
”Namun, upaya kami tersebut tidak pernah ditindaklanjuti pemerintah daerah dan tidak pernah dilakukan enclave terhadap keberadaan hak-hak kami tersebut,” ujar Diyu.
Sebagai pemilik lahan, Diyu melanjutkan, warga sangat dirugikan karena saat mengajukan program ke BPN ditolak akibat dinyatakan dalam HGU perusahaan.
”Kami dirugikan karena tidak bisa mengikuti program strategis BPN dalam rangka peningkatan status hak kepemilikan pengakuan dari negara. Lahan dan perkarangan rumah kami yang dikuasai secara turun-temurun tidak pernah kami lakukan peralihan hak jual-beli, namun masuk dalam HGU,” tegasnya.
Selain itu, lanjutnya, pihaknya tak pernah mengetahui proses penerbitan HGU PT BUM. Masyarakat di dalam areal HGU itu tidak dilibatkan sejak perizinan awal diterbitkan.
”Kami selaku masyarakat adat dan pemilik lahan merasa keberatan dan tidak mengetahui terbitnya sertifikat HGU di atas hak kami tanpa persetujuan dan sosialisasi kepada kami sebagai pemilik lahan,” katanya.
Mantan anggota DPRD Kotim ini mendesak Pemkab Kotim bersama BPN mengevaluasi HGU tersebut. Adapun Nomor Induk Bidang (NIB) yang dipersoalkan, yakni 00184, NIB 00185, NIB 00186, NIB 00187, NIB 00188, NIB 00189, NIB 00190. Totalnya 2.385 hektare.
Kemudian, NIB 00205 untuk HGU seluas 104.49 hektare, NIB 00183 untuk HGU seluas 109.44 hektare, dan NIB 00057 untuk HGU seluas 1.615 hektare.
Konflik dengan perkebunan juga terjadi di Desa Tumbang Sapiri, Kecamatan Mentaya Hulu. Warga setempat meminta pemerintah pusat dan daerah bersikap tegas menegakkan aturan terhadap perusahaan perkebunan kelapa sawit terkait kewajiban plasma 20 persen.
”Kami meminta pemerintah daerah, baik gubernur dan bupati untuk bertindak tegas kepada setiap perusahaan perkebunan kelapa sawit yang beroperasi di wilayah Kecamatan Mentaya Hulu untuk mewajibkan merealisasikan plasma 20 persen dari luasan areal perkebunan kelapa sawit,” kata Dias, warga setempat, Rabu (28/9).
Menurutnya, masih banyak perkebunan kelapa sawit yang tidak melaksanakan kewajibannya sesuai ketentuan. ”Demi kemajuan ekonomi masyarakat Desa Tumbang Sapiri, kami menuntut perusahaan agar memenuhi kewajibannya menjalankan plasma 20 persen agar perkonomian di desa semakin bertumbuh maju,” katanya. (ang/hgn/ign)