SAMPIT – Konflik antara masyarakat empat desa di Kecamatan Antang Kalang, yakni Tumbang Kalang, Kuluk Telawang, Sungai Hanya, dan Desa Waringin Agung, telah diprediksi sejak 2010 silam. DPRD Kotim pernah menerbitkan rekomendasi kepada Bupati Kotim pada 2013 untuk membatalkan dan mengevaluasi perizinan PT Bangkitgiat Usaha Mandiri (BUM) yang masuk lokasi desa itu.
”DPRD Kotim ketika itu sudah memberikan rekomendasi, karena desakan masyarakat Antang Kalang melalui forum rapat dengar pendapat di DPRD Kotim untuk membatalkan hingga mengevaluasi segala bentuk perizinan yang akan diberikan dan sudah diberikan kepada PT BUM saat itu,” kata Ketua DPRD Kotim Jhon Krisli periode 2009-2019, Rabu (5/10).
Dalam rekomendasinya, Jhon menyatakan, potensi masalah seperti saat ini sudah diprediksi bakal terjadi. Pasalnya, masyarakat akan melakukan peningkatan hak kepemilikan terhadap tanah yang masuk dalam areal perizinan perusahaan saat itu. Apabila rekomendasi itu dilaksanakan, persoalan sekarang tentunya tak akan terjadi.
”Harusnya dulu rekomendasi dewan itu didengarkan dan dilaksanakan. Jangan hanya dijadikan bungkus kacang saja, maka masalah masyarakat Antang Kalang yang ingin mensertifikasikan lahan mereka tidak ada masalah. Hak mereka akan diakui. Tapi, kalau masuk dalam HGU seperti sekarang, siapa yang mau bertanggung jawab?” ujarnya.
Setidaknya, kata Jhon, dirinya dua kali memberikan rekomendasi kepada Pemkab Kotim. Rekomendasi pertama tahun 2010 yang intinya memerintahkan tim inventarisasi melakukan pendataan ulang terhadap lahan masyarakat yang masuk areal perizinan lokasi yang diberikan pemerintah daerah kala itu.
Apabila masyarakat mau diganti rugi tidak masalah. Namun, jika tidak, harus dikeluarkan dari areal periznan tersebut. ”Ada sebelas poin rekomendasi dari DPRD yang mana kala itu menyikapi situasi yang cukup panas di Antang Kalang karena persoalan itu juga,” ujarnya.
Kemudian, lanjut dia, tahun 2013 persoalan itu mencuat lagi. Ternyata, rekomendasi DPRD tidak dilaksanakan. Warga dari empat desa kala itu mendatangi DPRD Kotim, menolak izin dari Bupati Kotim yang saat itu dijabat Supian Hadi, memberikan 2.350 hektare lahan kepada PT BUM.
”Nah, kala itu kami rekomendasikan lagi salah satu poinnya izin penambahan 2.350 hektare ini mesti dievaluasi Pemkab, karena masuk dalam areal desa yang sudah jelas pemilik dan penduduknya,” jelasnya.
Jhon melanjutkan, rekomendasi tersebut tidak hanya disampaikan kepada Bupati Kotim. Mereka juga bersurat kepada Menteri Kehutanan dan Menteri Pertanian agar memahami persoalan di Antang Kalang.
Dia juga mempertanyakan proses hingga bisa terbit HGU di areal itu. Padahal, sebelum HGU terbit tentunya ada tim yang mendata hak masyarakat di areal itu. ”Artinya ada tahapan yang tidak dilaksanakan dalam proses HGU, sehingga bisa dikatakan cacat produk,” katanya.
Persoalan itu mencuat setelah masyarakat Antang Kalang mengajukan program sertifikasi lahan mereka melalui PTSL. Namun, program itu tidak bisa dilaksanakan, karena tanah yang mereka ajukan ternyata masuk dalam HGU PT BUM.
Selain itu, warga meradang lantaran setiap kali beraktivitas di lahan, mereka selalu diintimidasi dan diancam dipidanakan di Polda Kalteng dengan dalih penyerobotan lahan.
”Padahal itu tanah kami. Tidak pernah ada orang menjual atau kami menjual atau pun menerima ganti rugi tanam tumbuh. Tapi, setiap kali kami ke kebun kami diancam-ancam pidana,” kata Diyu.
Saat ini tim dari BPN Kotim turun tangan memetakan persoalan yang mencuat tersebut. Apalagi masyarakat kini sudah melaporkan ke sejumlah lembaga tinggi negara dengan tudingan mafia tanah yang jadi perhatian Menteri ATR BPN Hadi Tjahyanto, Jaksa Agung, hingga Kapolri. (ang/ign)