SAMPIT – Titik panas di Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) tetap muncul meski kemarau basah melanda. Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kotim, sepanjang tahun ini, dari Januari hingga September sekitar 75 titik panas telah terdeteksi.
”Dari Januari sampai September saja sekitar 75 hot spot sudah terdeteksi, tapi lahannya tidak terlalu luas, dibawah 30 hektare," ujar Kepala BPBD Kotim Rihel.
Dia melanjutkan, titik panas yang dimaksud mengarah pada kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Tidak termasuk kasus kebakaran yang terjadi di area permukiman warga, karena untuk kasus tersebut ditangani Dinas Pemadam Kebakaran dan Penyelamatan (DPKP) Kotim.
Setiap tahun Kotim tak pernah luput dari karhutla. Apalagi wilayah Kotim meliputi hutan dan area perkebunan. Namun, jumlah titik panas tahun ini jauh menurun dibanding tahun sebelumnya yang lebih dari 100 titik.
”Karena adanya kemarau basah dan hujan terus, jadi terbantu. Jumlah hot spot berkurang. Tahun lalu lebih dari 100 kasus, kalau tahun sebelumnya lagi bahkan bisa sampai ribuan," ungkapnya.
Dia melanjutkan, dari 75 lebih titik panas yang terdeteksi tahun ini, tidak semua merupakan kasus karhutla. Ada beberapa merupakan kegiatan pembakaran kopra atau batok kelapa oleh masyarakat, seperti yang biasa dilakukan para petani kelapa di Kelurahan Samuda Kota, Kecamatan Mentaya Hilir Selatan.
Kegiatan pembakaran kopra atau batok kelapa juga turut terdeteksi. Sebab, titik panas yang terdata merupakan deteksi dari satelit. Satelit hanya dapat mendeteksi adanya panas atau sumber api sesuai skala tertentu, tanpa membedakan antara kerhutla dengan aktivitas yang dilakukan masyarakat.
”Ada beberapa yang sebenarnya bukan karhutla. Contoh di Samuda Kota terdeteksi hot spot di pinggir jalan, biasanya itu ada warga yang membakar kopra. Kecuali kalau jaraknya 10-20 meter dari jalan, baru ada potensi karhutla. Begitu kami membedakannya," katanya.
Lebih lanjut Rihel mengatakan, penyebab karhutla umumnya disebabkan unsur kesengajaan. Pasalnya, hingga sekarang masih banyak warga yang menerapkan cara membakar untuk membuka atau mempersiapkan lahan pertanian sebelum memasuki musim tanam.
Pihaknya mengaku kesulitan mendapatkan oknum warga yang melakukan pembakaran tersebut. Pasalnya, ketika tim BPBD tiba di lokasi, pelaku telah melarikan diri.
”Untuk mendapatkan pelakunya cukup sulit, karena pola mereka setelah membakar langsung lari atau pakai obat nyamuk yang dinyalakan dan ditinggalkan di lokasi lahan. Setelah beberapa saat obat nyamuk itu habis, akan membakar apa yang ada di sekitarnya," jelasnya.
Salah satu kendala pihaknya dalam menangani titik panas, yakni sistem satelit yang agak lambat dalam memproses data. Laporan titik panas baru muncul sehari setelahnya. Berbeda dengan kebakaran yang terjadi di area perkotaan, tim BPBD bisa mendapat informasi lebih cepat dari warga dan bisa segera meluncur ke lokasi.
Atas peran serta aparat kepolisian, TNI, dan warga di setiap kecamatan yang turut andil dalam mengatasi karhutla di wilayah masing-masing, BPBD sangat terbantu. Sebab, untuk mengatasi masalah itu memang tak bisa hanya mengandalkan satu instansi.
Pihaknya juga terus mengimbau masyarakat agar tidak lagi melakukan pembakaran dengan alasan apa pun. Apalagi dampak dari karhutla cukup besar bagi masyarakat. Selain itu, perbuatan tersebut juga termasuk tindakan melanggar hukum. (yn/ign)