Minimnya respons pemerintah dan lembaga legislatif mengenai kawasan hutan yang terancam kian berkurang di Kabupaten Kotawaringin Timur akibat ekspansi perkebunan, memperlihatkan persoalan lingkungan terlalu disepelekan. Padahal, kesigapan pihak terkait sangat penting untuk membentengi hak rakyat dari kerakusan investasi yang merusak alam.
”Ada hal menarik yang saya perhatikan di balik kecemasan warga di Desa Tumbang Ramei saat ini. Salah satunya, kenapa Pemkab dan DPRD Kotim belum ada sikap sama sekali? Saya lihat mereka cenderung pasif,” kata pemerhati kebijakan publik Bambang Nugroho, Selasa (25/10).
Seperti diberitakan, kawasan hutan seluas sekitar 4.000 hektare di Desa Tumbang Ramei terancam hilang. Pemerintah menerbitkan izin usaha perkebunan di areal tersebut untuk perusahaan. Kepala Desa Tumbang Ramei, BPD, dan masyarakat kompak menolak dibabatnya hutan. Warga bersikukuh mempertahankan hutan dan tak ingin memperjualbelikan lahan di desa itu. Sebagai bentuk protes, warga sempat menyurati Bupati Kotim Halikinnor, menolak izin baru PT BSL. Menurut Bambang persoalan yang dihadapi warga Tumbang Ramei sebenarnya tak hanya jadi masalah besar di lingkup desa itu saja. Namun, layak menjadi persoalan skala regional hingga nasional. Pasalnya, hal itu berkaitan dengan lingkungan hidup dan keberlangsungan manusia di muka bumi ini. Apalagi hutan merupakan salah satu penghasil oksigen yang saat ini sedang gencar-gencarnya dipertahankan dunia internasional.
”Saya kok melihat daerah kita ini menganggap sepele. Kita ini sudah dikatakan sebagai paru-paru dunia. Ketika paru-paru ini dirusak, maka dampaknya akan terjadi kepada semua segmentasi. Harusnya pemerintah daerah dan DPRD Kotim segera menyikapi ini,” tegasnya.
Dia menuturkan, Pemkab dan DPRD Kotim harusnya bersikap tegas, apakah mendukung upaya masyarakat mempertahankan hutan, atau justru sebaliknya, mendukung produk perizinan yang sudah diterbitkan pemerintah
”DPRD Kotim yang biasanya responsif, ini malah pasif. Harusnya DPRD panggil camat, kades, dan jajaran Pemkab Kotim, termasuk investor. Cari jalan keluarnya melalui rapat dengar pendapat. Jangan sampai persoalan ini berlarut-larut. Bukan zamannya lagi menunggu laporan masyarakat. Harus bergerak cepat menyelesaikan masalah,” katanya.
Menurut Bambang, selama perkebunan belum mengantongi HGU, pemerintah daerah memiliki kewenangan membatalkan perizinananya, seperti izin lokasi yang diberikan. ”Kalaupun sudah IUP, bagaimana prosesnya? Apa sesuai tidak dengan tahapan-tahapannya? Harus diteliti, jangan-jangan izin ini terbit begitu saja tanpa melalui tahapan sesuai perundang-undangan,” katanya.
Sebelumnya, Asisten II Setda Kotim Alang Arianto menyarankan masyarakat Tumbang Ramei mengirim surat resmi dan mengajukan keberatan terkait izin perkebunan yang ditolak kepada pemerintah melalui desa yang disampaikan pada Bupati Kotim. Dengan begitu, Pemkab Kotim bisa mengambil langkah untuk melindungi kepentingan masyarakat.
”Silakan masyarakat mengajukan keberatannya melalui desa dan kecamatan untuk diteruskan ke kabupaten, dalam hal ini Pak Bupati untuk ditindaklanjuti,” ujarnya, pekan lalu.
Sejauh ini, lanjut Alang, pihaknya belum menerima surat itu, sehingga belum menentukan sikap selanjutnya. Di sisi lain, Alang juga membenarkan ada pertemuan dengan warga setempat terkait penolakan terhadap perkebunan tersebut.
”Kalau beberapa waktu lalu ada kadesnya ketemu Bupati Kotim, tapi tidak ada surat yang diserahkah dan pokok pembahasannya bukan masalah itu. Kalau bisa, kami minta salinan suratnya supaya bisa ditindaklanjuti,” kata Alang.
Sementara itu, anggota DPRD Kalteng Alexius Esliter mendukung perjuangan masyarakat Desa Tumbang Kalang dan Tumbang Ramei mempertahankan dan memperjuangkan lahan dari ekspansi perkebunan. Khususnya di Desa Tumbang Ramei yang hutannya terancam digarap perusahaan.
”Saya mendukung dan mengapresiasi perjuangan masyarakat Desa Ramei menjaga serta mempertahankan hutan dan lahan milik mereka secara kompak. Mulai dari kepala desa, serta perangkat hingga warganya. Mereka patut dihargai memiliki kepedulian untuk keberlangsungan kehidupan manusia dengan menjaga hutan,” kata Alexius.
Alexius prihatin dengan kondisi yang terjadi di wilayah hulu ini. Hal yang diperjuangkan masyarakat betul adanya. Bahkan, dia telah meninjau secara langsung hingga pedalaman, di mana hutan dan ekosistemnya perlahan menghilang. Karena itu, perjuangan masyarakat menjaga hutan tidak bisa dibiarkan sendirian.
Alexius mempertanyakan terbitnya perizinan tersebut. Dia menduga izin perkebunan itu terbit secara tidak prosedural, sehingga menjadi masalah bagi masyarakat. ”Patut dipertanyakan bagaimana bisa perizinan bisa terbit di areal hutan yang masih asli. Prosesnya seperti apa bisa begitu?” ujar Alex yang juga Sekretaris DPC PDI Perjuangan Kotim ini.
Alex mengungkapkan, pihaknya di DPRD Kalteng telah menerima surat tembusan yang ditujukan kepada Bupati Kotim mengenai keresahan dan penolakan masyarakat terkait hadirnya perusahaan kelapa sawit di Desa Tumbang Ramei.
”Sudah ada kami terima. Makanya kami langsung komunikasi dengan warga di sana dan memang demikian faktanya. Ini harus segera disikapi secara serius,” tegasnya.
Sebagai informasi, izin usaha perkebunan salah satu perusahaan sebelumnya dicabut Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada Januari 2022. Perusahaan itu mengantongi izin konsesi dalam kawasan hutan seluas 5.903 hektare.
Kemudian, pada April 2022, KLHK membatalkan pencabutan IUP perusahaan itu. Izin itu berada di wilayah Desa Sungei Puring, Kuluk Telawang, Tumbang Maya, Tumbang Kalang, dan Tumbang Ngahan. Untuk Desa Tumbang Ramei tidak masuk dalam wilayah konsesi perizinan yang dicabut, lantaran status kawasannya merupakan areal penggunaan lain.
Lahan di Desa Tumbang Ramei merupakan IUP perluasan lokasi yang disetujui pemerintah daerah per 1 Oktober 2020. Luasan lahan bertambah menjadi 9.566 hektare dari awalnya 5.903 hektare. Informasinya, sosialisasi keberadaan perusahaan tersebut hingga rencana kebun plasma sempat membuat heboh dengan beredarnya video asisten I Setda Kotim Diana Setiawan yang disebut-sebut melecehkan DPRD Kotim, karena melarang Kepala Desa Tumbang Ramei mengadu ke DPRD Kotim terkait persoalan tersebut. (ang/ign)