Kasus keracunan massal akibat kue ipau tidak menutup kemungkinan bakal ada tersangka. Pasalnya, penyidik Polres Kotim telah meningkatkan status perkara tersebut dari tahap penyelidikan menjadi penyidikan. ”Benar. Kami sudah menaikkan ke sidik dan sudah memeriksa beberapa saksi, termasuk yang membuat kue tersebut,” kata Kapolres Kotim AKBP Sarpani.
Terkait peningkatan status perkara, lanjutnya, dilakukan setelah gelar perkara dan menemukan bukti permulaan yang cukup. ”Hasil sementara, memang dalam kue tersebut ada mengandung bakteri,” ungkapnya. Dia menambahkan, saat ini pihaknya masih fokus melakukan pemeriksaan terhadap saksi, termasuk berapa banyak kue ipau yang sudah dijual. ”Mohon sabar dulu. Meski sudah mengarah adanya pelanggaran, kami tetap menunggu hasil laboratorium dari BPOM,” katanya. Praktisi hukum di Sampit Agung Adisetyono mengatakan, perkara keracunan massal kue ipau bisa saja melanggar dua undang-undang sekaligus, yakni Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang tentang Pangan. Pertanggungjawaban pelaku usaha diatur dalam Pasal 19 ayat (1) dan (2) UU 8/1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
Dalam ketentuan tersebut, pelaku usaha diwajibkan bertanggung jawab, seperti memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Ganti rugi dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang, jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu tujuh hari setelah tanggal transaksi. Namun, itu tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.
”Tapi, pertanggungjawaban pelaku usaha ini tidak bisa serta merta dan tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen atau pembeli,” jelasnya.
Agung melanjutkan, untuk pertanggungjawaban pidana, diatur dalam Pasal 134 UU 18/2012 tentang Pangan. Dalam ketentuan itu disebutkan, setiap orang yang melakukan produksi pangan olahan tertentu untuk diperdagangkan, yang dengan sengaja tidak menerapkan tata cara pengolahan pangan yang dapat menghambat proses penurunan atau kehilangan kandungan gizi bahan baku pangan yang digunakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1), dipidana penjara paling lama satu tahun atau denda maksimal Rp2 miliar. Menurut Agung, proses dalam kasus itu biasanya akan lebih banyak dalam ilmu kedokteran, di antaranya meliputi pemeriksaan sampel makanan, hasil pemeriksaan dokter, dan keterangan korban.
”Hasil sampel makanan dapat membuktikan jika makanan tersebut positif mengandung zat berbahaya untuk tubuh dan dapat mengakibatkan gangguan pada sistem pencernaan korban,” katanya. (sir/ign)