Petani rotan di Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) berharap agar ada perbaikan harga rotan di tingkat petani. Stagnannya harga rotan dinilai tak lepas dari kebijakan larangan ekspor rotan. Mereka berharap Bupati Kotim Halikinnor menyampaikan persoalan petani itu kepada pemerintah pusat guna mengevaluasi regulasi tersebut. ”Sudah lebih sepuluh tahun kami ini sebagai petani menderita karena larangan ekspor. Akibat kebijakan itu, harga jadi murah dan kami di tingkat petani ini yang jadi korban,” kata Samsul, warga Kecamatan Cempaga.
Dia berharap larangan ekspor dicabut, sehingga bisa mengembalikan rotan ke harga ideal. Setidaknya satu kilogram bisa dihargai Rp7.000. Saat ini harganya hanya Rp3.800 per kilogram. ”Kami sudah tanya kepada pengepul soal harga ini. Katanya karena tidak bisa ekspor lagi, jadi harganya segitu saja,” ujar dia. Dia melanjutkan, petani sempat mendapatkan harga bagus pada 2022 lalu, yakni mencapai Rp6.000 per kg. Saat itu ada pengepul yang berani membeli dengan harga mahal. Namun, kabarnya rotan itu dijual ke luar negeri melalui jalur laut, sehingga harganya mahal.
”Kami sebenarnya tidak peduli rotan itu mau dibawa ke mana, asalkan harganya di petani bisa mahal dan itu mengangkat kehidupan kami,” katanya. Warga lainnya yang bergantung pada rotan, Taufiq Haryadi, mengharapkan campur tangan pemerintah. Setidaknya melobi pemerintah pusat mencabut larangan ekspor tersebut. Selain itu, mereka berharap aturan larangan harusnya bisa digugat untuk kepentingan petani. ”Kami berharap aturannya bisa digugat, karena ini tidak berpihak kepada petani,” ujarnya. Peraturan Menter Perdagangan Nomor 35 Tahun 2011 mengatur tentang Ketentuan Ekspor Rotan dan Produk Rotan. Regulasi itu menetapkan larangan ekspor bahan baku rotan. Selain itu, ada juga Permendag 36/2011 yang mengatur pengangkutan rotan antarpulau, sebagai upaya mencegah penyelundupan rotan.
Kemudian, Permendag 37/2011, mengatur tentang rotan dalam sistem resi gudang. Ini merupakan mekanisme tunda jual. Semua Permendag tersebut dinilai aturan yang menyesatkan dan “pembasmi” pelaku ekonomi yang menggantungkan hidupnya dari tanaman rotan.
Dampak dari larangan ekspor rotan mentah dan setengah jadi produksi rotan di 19 desa di Kotim mengalami penurunan karena petani mulai enggan memanen komoditi budidaya akibat harganya yang terus menurun. Jumlah petani rotan di 19 desa itu sekitar 4.021 orang.
Sejak adanya aturan tersebut, penghasilan para petani tidak menentu lagi. Kebun rotan yang selama ini menjadi sumber penghasilan andalan mereka sekarang sudah tidak lagi menjanjikan. Selain itu, tidak sedikit warga yang kini mulai mengganti tanaman mereka ke kelapa sawit, akibatnya kebun rotan mereka dibabat habis dan memilih ditanam kelapa sawit. (ang/ign)