Kebijakan larangan ekspor rotan yang berdampak pada masyarakat yang bergantung pada komoditas tersebut harus diatasi secara konkret. Akan tetapi, selama ini belum ada aksi nyata dari pihak terkait untuk persoalan itu. ”Sejauh ini belum ada aksi nyata. Harusnya, baik itu asosiasi ataupun pemerintah daerah berani bersikap. Di antaranya mengajukan gugatan hukum terhadap UU larangan ekspor rotan,” kata Agung Adisetiyono, praktisi hukum di Kotim.
Menurut Agung, kebijakan larangan ekspor rotan sulit direvisi. Jalan paling jitu memang harus diuji. Pemerintah melarang eskpor tentunya ada dasar dan argumentasi secara hukum. Begitu pula masyarakat, punya argumentasi dan terdampak dari kebijakan tersebut. ”Makanya, untuk membuktikan kondisi akibat larangan ekspor ini memang melalui upaya hukum. Kalau menunggu pemerintah pusat, dalam hal ini Kemendag mencabut aturan, saya kira cukup sulit. Harus ada aksi nyata,” kata dia.
Menurut Agung, untuk menggugat ketentuan tersebut bisa saja melalui asosiasi petani rotan ataupun petani sendiri. Namun, tidak menutup kemungkinan daerah penghasil rotan dikonsolidasikan secara maksimal. ”Saya justru mendorong agar difasilitasi dan dikomunikasikan pemerintah daerah terhadap kabupaten penghasil rotan lainnya. Dengan begitu, akan lebih memperkuat posisi petani itu sendiri,” tegasnya . Selain itu, kata Agung, secara politik juga bisa ditempuh melalui wakil rakyat di setiap tingkatan untuk membawa persoalan ini secara totalitas sampai ke DPR RI. Hal itu bisa berakhir dengan rekomendasi kepada pemerintah pusat. ”Jalur politik bisa dilakukan untuk menekan pemerintah atau kementerian terkait supaya bisa mengevaluasi ulang,” katanya. (ang/ign)