SAMPIT-Persoalan yang menyangkut anak, seperti kasus kekerasan terhadap anak menjadi hal serius yang menjadi perhatian Pemerintah Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim). Pemerintah terus berupaya agar anak mendapatkan perlindungan dan haknya.
"Persoalan terhadap anak masih sering terjadi. Saat ini masih adanya kasus kekerasan terhadap anak, pelecehan seksual terhadap anak, perkawinan usia di bawah 19 tahun yang berpotensi terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, yang akan berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak," kata Wakil Bupati Kotim Irawati.
Dipaparkannya, berdasarkan data dari Dinas Pemberdayaan perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DPPPAPPKB) Kabupaten Kotim, kekerasan terhadap anak pada tahun 2021 sejumlah 18 kasus dan pada tahun 2022 menurun menjadi 15 kasus. Kemudian tahun 2023 mulai bulan Januari sampai dengan Juli sejumlah 9 kasus.
Sementara angka presentasi stunting yang masih cukup tinggi sampai bulan Juli tahun 2023, dilihat dari data elektronik-Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis masyarakat (e-PPGBM) dari Dinas Kesehatan sebesar 20,7 persen, dimana angka yang diharapkan pemerintah secara nasional di tahun 2024 sebesar 14 persen.
"Ini merupakan poin penting yang harus menjadi perhatian serius pemerintah, bagaimana anak seharusnya mendapatkan perlindungan dan haknya. Pemerintah akan terus berupaya dan bersinergi dengan berbagai elemen masyarakat dan lain-lain untuk mengatasi permasalahan tersebut secara berkelanjutan," papar Irawati.
Pihaknya pun meminta kepada dinas terkait untuk melakukan sosialisasi pencegahan kekerasan terhadap anak-anak dan melakukan komunikasi informasi dan edukasi (Kie) kepada keluarga yang baru menikah. Agar tidak ada lagi kekerasan terhadap anak dan keluarga bebas stunting khususnya di Kotim. Dengan tekad bersama zero kasus kekerasan terhadap anak dan angka stunting bisa menjadi 14 persen di Kotim.
Irawati menegaskan, dalam konvensi hak anak secara garis-garis besar terdapat empat hak anak yaitu hak hidup kelangsungan hidup, hak perlindungan, hak tumbuh kembang dan hak berpartisipasi, yang kemudian dijabarkan dalam 31 item hak anak. Hal itu tercantum dalam undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak.
Diutarakannya pula, berbagai upaya dilakukan pemerintah daerah antara lain memperbaiki layanan bagi anak. Diantaranya adalah layanan pendidikan, serta pemenuhan hak anak lainnya dan layanan bagi keluarga untuk mendapatkan komunikasi informasi dan edukasi, tentang penguatan peran keluarga yang dimulai sejak tahap perencanaan keluarga.
"Hal ini Tentunya tidak hanya tugas pemerintah saja tetapi juga tugas semua elemen masyarakat dalam pemenuhan hak dan perlindungan anak serta peran keluarga di masyarakat," pungkas Irawati. (yn/gus)