Kegiatan perjalanan dinas di lembaga DPRD Kotim menelan anggaran cukup besar. Bahkan, diduga ada perjalanan dinas fiktif yang dilakukan. Rutinitas perjalanan tersebut setiap pekan dilaksanakan dengan kunjungan berulang-ulang dengan tujuan yang sama. ”Kegiatan kunjungan itu pada intinya tidak ada output sama sekali. Coba saja tanyakan kepada mereka yang melaksanakan sepulang dari kunjungan itu, apakah ada hasilnya yang bisa dijelaskan dan diimplementasikan?” kata sumber Radar Sampit di DPRD Kotim yang meminta identitasnya tak disebutkan.
Kunjungan kerja yang diduga hanya untuk plesiran wakil rakyat hingga pegawai di instansi itu terjadi setiap tahun anggaran. Bahkan, jadwalnya nyaris tidak terjeda. Anggaran yang disediakan dalam APBD murni selalu kurang, hingga harus disuntik tambahan lagi pada APBD perubahan. Radar Sampit memperoleh informasi dari sumber internal di DPRD Kotim yang menyebutkan, kunjungan tersebut, apalagi tujuannya dalam daerah, hanya dilaksanakan sehari. Selanjutnya fiktif.
”Kalau di laporan mereka kunjungannya empat hari, itu biasanya dilaksanakan satu hari saja. Bahkan, bisa saja datang ke beberapa kabupaten, tapi nanti karena perlu foto-foto dokumentasi kegiatan, maka baju-bajunya itu diganti supaya kelihatan, tapi semuanya itu akal-akalan saja,” ujar sumber tersebut. Praktisi hukum di Kota Sampit, Agung Adisetiyono, mengatakan, terdapat temuan potensi terjadinya kecurangan yang dapat menimbulkan kerugian keuangan negara akibat perjalanan dinas diduga fiktif tersebut. Sebab, anggaran daerah digunakan untuk kegiatan yang tidak pernah terjadi.
”Hal-hal kecil seperti fraud pada perjalanan dinas ini potensial terjadi tindakan korupsi karena mengakibatkan kerugian keuangan negara atau daerah,” katanya. Menurutnya, sangat mudah mendapatkan perhitungan kerugian negara tersebut. Pasalnya, dalam kegiatan perjalanan dinas sepekan, jika hanya dilaksanakan sehari, kemudian setelahnya tidak, hal tersebut dianggap sebagai kegiatan fiktif. ”Karena ketentuan pembayaran uang SPPD itu kan perhari. Jadi, artinya kalau itu dilaksanakan satu sampai dua jam saja dalam waktu sehari, tapi dilaporkan 4-5 hari, maka selebihnya fiktif dan ini melanggar hukum,” tegasnya.
Agung mengungkapkan, di daerah lain di Indonesia sudah banyak yang terjerat kasus SPPD fiktif tersebut. Bahkan, modus operandinya hampir serupa. ”Ya, modusnya sama-sama saja. Tidak jauh dari pelaporan kegiatan yang fiktif dan lain sebagainya. Jangan dilihat nominalnya sehari misalnya Rp500.000. Kalau dikalikan dalam sepekan, lima hari, artinya ada Rp2,5 juta. Lalu, kalau ini dilakukan berlanjut dalam jumlah yang banyak, saya kira nilainya miliaran juga kerugiannya,” katanya. Persoalan hukum SPPD fiktif, jelasnya, merupakan perkara yang tak hanya menyeret satu orang, namun biasanya secara berjemaah. Mulai dari pelaku, pengguna anggaran, hingga pegawai yang bertugas melakukan pembayaran.
”Karena setiap orang yang menyebabkan kerugian negara memang harus dihukum dan diproses. Kan begitu perintah undang-undang. Jadi, mau dia ikut menikmati atau tidak, tapi mengetahui itu salah, dia juga harus diseret ke hukum untuk bertanggung jawab dengan semua itu,” tegasnya.
Kabarnya, dugaan SPPD fiktif tersebut pernah dibidik aparat penegak hukum. Namun, kasus itu tidak jelas penanganannya. Ada pula anggaran makanan dan minuman di lembaga itu yang pernah diperiksa karena nilainya cukup fantastis. Sejumlah anggota DPRD Kotim saat dikonfirmasi terkait perjalanan dinas tersebut enggan berkomentar. Termasuk Sekretaris DPRD Kotim Bima Eka Wardana yang tak merespons ketika dihubungi Radar Sampit. (ang/ign)