Pemerintah dinilai gagal total mencegah mengganasnya kebakaran hutan dan lahan saat kemarau panjang tahun ini. Gencarnya penanganan yang dilakukan sekarang dinilai terlambat, karena api terlanjur meluas. Kegagalan melindungi rakyat jadi ”dosa” (kesalahan, Red) besar pemerintah akibat tak menyikapi serius sinyal bahaya. ”Kami menilai pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota di Kalteng sangat lamban melakukan penanganan karhutla,” kata Direktur Lembaga Bantuan Hukum Palangka Raya Aryo Nugroho Waluyo.
Menurut Aryo, sejak awal tahun Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) telah memprediksi terjadinya kemarau panjang. Akan tetapi, informasi tersebut tak direspons secara serius oleh pemerintah. Akibatnya, karhutla tak terbendung dan asap terus mengepung dan menggerogoti kesehatan warga. Kelambatan tersebut, lanjutnya, terlihat pada April-Mei, sembilan kabupaten baru menetapkan status darurat karhutla. Upaya pencegahan bisa lebih maksimal apabila dilakukan jauh hari, sebelum kemarau tiba.
Aryo berharap pemerintah tak hanya melakukan pencitraan dalam pemadaman api. Di sisi lain, kesehatan dan keselamatan kerja relawan maupun pemadam harus dipastikan, karena anggarannya ada. Jangan sampai mereka menjadi korban ketika menggempur api di lapangan. ”Yang terakhir dalam hukum dikenal dengan istilah, ’Salus Populi Suprema Lex Esto’ atau ’Keselamatan Rakyat Merupakan Hukum Tertinggi’. Dalam hal ini, pemda harus serius melindungi kesehatan rakyatnya dari asap beracun hasil karhutla,” tegas Aryo. Sementara itu, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Tengah menyoroti penegakan hukum selama musim karhutla. Oknum yang harus bertanggung jawab dengan kebakaran yang terjadi dinilai tidak signifikan. Polisi masih menetapkan satu tersangka pelaku pembakar lahan di Kotim. Itu pun petani dan masyarakat biasa. Di sisi lain, data Walhi menunjukkan ada wilayah konsesi perkebunan yang ikut terbakar, namun luput dari penegakan hukum.
”Kami mendorong agar upaya penegakan hukum jadi bagian dari upaya pencegahan karhutla. Sampai saat ini belum ada penegakan hukum terhadap aktor besar yang terbukti lalai, misalnya korporasi atau perkebunan yang harusnya bertanggung jawab terhadap karhutla,” kata Direktur Eksekutif Walhi Kalteng Bayu Herianata. Bayu melanjutkan, peringatan kepada wilayah perusahaan yang terbakar hingga tindakan tegas atau sanksi, bisa jadi menjadi peringatan pada perusahaan lainnya agar tidak main-main dengan urusan tersebut. Pasalnya, hal itu menjadi tanggung jawab mutlak untuk perusahaan yang telah mendapatkan izin pengelolaan dan penguasaan lahan.
”Kita tidak mau kejadian asap 2015-2019 terulang, yakni sampai menelan korban jiwa karena lambannya pemerintah merespons situasi darurat. Paling penting situasi tanggap darurat ini adalah memaksimalkan keselamatan warga dan pengendalian, seperti pemadaman dan mencegah potensi kebakaran baru,” katanya. Bayu menegaskan, pemerintah daerah harus mengambil langkah luar biasa. Tidak hanya fokus kepada pengendalian atau pemadaman. Dia juga menyesalkan pemerintah seolah tak siap dengan kondisi sekarang. Padahal, dari awal sudah diungkap potensi karhutla yang disertai riset ilmiah.
”Saat ini pemerintah harus memastikan hak kesehatan masyarakat yang terdampak bisa terpenuhi dan menyampaikan secara berkala terkait informasi standar pencemaran udara, sehingga ada pengetahuan yang dimiliki masyarakat agar melakukan mitigasi dampak asap,” katanya. Selain itu, lanjutnya, penyiapan masker dari pemerintah sesuai standar kesehatan, serta mengaktifkan rumah aman kepada masyarakat. Khususnya pada sentra pelayanan publik hingga pusat kegiatan ekonomi masyarakat. (radarsampit)