Pemerintah pusat harus turun tangan mengatasi masalah kabut asap di Kalimantan Tengah. Keterlibatan tak cukup hanya dengan mengirim bantuan penanganan, baik helikopter pembom air maupun lainnya. Perlu keseriusan layaknya menggarap Ibu Kota Nusantara (IKN) untuk mengatasi persoalan karhutla di Kalteng. ”Pemerintah pusat harus lebih banyak bergerak. Jangan hanya fokus IKN. Segera pandang Kalteng yang juga Indonesia,” kata pengamat hukum di Palangka Raya Wangivsy Eryanto, Kamis (5/10).
Wangivsy melanjutkan, pemerintah wajib menjalankan prinsip dalam Pancasila, yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Selain itu, dalam UUD negara menjamin kemerdekaan rakyatnya, termasuk merdeka dari asap. Pengamat hukum lainnya, Suriansyah Halim, mengatakan, dalam situasi bencana asap yang melanda Kalteng, pihak yang bertanggung jawab secara administrasi dan perdata adalah pemerintah pusat, mulai dari presiden, menteri, pemerintah daerah, gubernur, bupati, wali kota.
”Sekarang di mana tanggung jawab mereka? Meskipun sudah cukup bukti mereka telah lalai, pemerintah bertanggung jawab dalam kondisi ini. Negara sudah mengembankan pada mereka, baik pejabat pusat maupun daerah untuk melindungi masyarakat dan mencegah karhutla. Jadi, kondisi ini dianggap kelalaian,” katanya. Halim menuturkan, dalam UUD 1945 Pasal 28, setiap orang wajib mendapatkan perlindungan yang baik, sehat, dan memperoleh pelayanan kesehatan. Negara wajib menyediakan hal tersebut. Selain itu, dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, jelas disebutkan negara, baik pusat hingga daerah, wajib menjamin keselamatan dan kesehatan masyarakat.
”Kalau masyarakat melakukan pidana, jelas sanksinya. Nah, kalau pejabat melakukan kelalaian, bisa dikenakan sanksi administrasi,” tegasnya. Menurut Halim, penanganan setelah kejadian dari pemerintah memang sudah ada. Akan tetapi, berdasarkan amanat undang-undangan, pencegahan juga perlu dilakukan. Hal itulah yang gagal dijalankan. Padahal, peringatan terhadap ancaman karhutla sudah diberikan BMKG jauh hari, namun tak ada upaya pencegahan serius yang dilakukan.
”Kalau sekarang sudah lambat. Ini dampaknya sudah sangat besar. Bukan hanya kesehatan, tapi sektor lain. Jangan sampai terjadi seperti beberapa tahun lalu, ada yang meninggal dunia gara-gara asap. Hal itu yang kita cegah. Pemerintah pusat dan daerah seharusnya belajar dari kesalahan dulu,” tegasnya. Halim menambahkan, jika sadar diri, pejabat yang tak mampu mengatasi kondisi ini harusnya tak dipaksakan. Berikan pada pejabat atau yang lebih mampu serta berkompetensi melakukan pencegahan.
”Ingat, anggaran yang ada bukan hanya dalam mengatasi setelah kejadian, tetapi antisipasi. Terus ke mana anggaran antisipasi? Makanya, kalau pejabat seperti dinas terkait tidak mampu, ganti saja. Biar segera diatasi dan jangan terulang lagi,” katanya. Dia melanjutkan, pemerintah bisa saja digugat, seperti yang pernah dilakukan sejumlah aktivis lingkungan terkait bencana asap. Majelis hakim sependapat pemerintah sangat lalai dan tidak melakukan pencegahan secara optimal, sehingga melakukan perbuatan melawan hukum.
Pengamat hukum lainnya, Parlin Hutabarat mengatakan, masyarakat harus diberikan ruang lingkup hidup yang layak. Dalam kondisi ini, pemerintah sudah tidak melakukan hal tersebut. ”Karhulta ini ada tindak pidana, tetapi tidak ada tindakan dari aparat. Maka kita bisa salahkan penegak hukum. Ke mana mereka? Karhutla ini bisa diprediksi, apalagi penyebab kebakaran itu diduga sengaja dan tidak mungkin gara-gara api turun dari langit,” tegasnya. Parlin menyoroti karhutla di Palangka Raya yang belum ada tersangka. Padahal, sudah ratusan kali terjadi. Masyarakat bisa mempertanyakan hal tersebut. ”Anggaran penanganan hukum karhutla ini ada. Sangat disayangkan. Harus dievaluasi ini. Bukan hanya di Polda, tetapi Polres bahkan Kapolri. Harus ada atensi khusus dari Kapolri. Jika jajaran tidak bisa melaksanakan penanganan, copot saja atau ganti pimpinannya,” katanya. (daq/ign)