Tim Advokasi Solidaritas Masyarakat Bangkal mengungkap sejumlah dugaan pelanggaran dan upaya kriminalisasi terhadap warga yang melakukan aksi dalam konflik perkebunan di Desa Bangkal, Kabupaten Seruyan. Dari jejar penanganan perkara, pengusutan kasus penembakan oleh kepolisian diragukan. Berdasarkan laporan berjudul ”Temuan Investigasi Awal Peristiwa Kekerasan dan Pelanggaran HAM: Krisis Kemanusiaan dan Keadilan di Bangkal-Seruyan” yang diterbitkan Tim Advokasi Solidaritas Masyarakat Bangkal15 Oktober lalu, membeberkan peristiwa penangkapan setelah tewasnya korban terhadap warga. Proses hukumnya diduga banyak terjadi pelanggaran.
Dalam laporan itu menyebutkan, sesaat setelah penembakan gas air mata, peluru karet, dan peluru tajam pada siang pada 7 Oktober 2023, aparat kepolisian juga melakukan penangkapansewenang-wenang terhadap demonstran. Terdapat 20 orang demonstran yangditangkap. Keterangan salah satu saksi menuturkan, mulanya warga mendengar aparat kepolisian memberikan imbauan pada demonstran untuk menyerahkan mandau—senjata adat suku Dayak yangbiasa dibawa. Setelah diserahkan, mereka bisa kembali ke rumah masing-masing.
Mendengar imbauan tersebut, setidaknya 20 orang berkumpul. Namun, mereka seketika dipaksa duduk berjongkok dan dikelilingi aparat bersenjata. Setelahnyadibawa pergi menggunakan kendaraan kepolisian ke Markas KomandoBrimob. Tak lama sampai di Mako Brimob, 20 orang tersebut langsung dibawakembali ke Polres Kotim untuk menjalani pemeriksaan. Semua warga yangditangkap juga dipaksa melakukan tes urineoleh kepolisian. Salahseorang yang ditangkap dan diperiksa masih berstatus siswa SMA. Terhadap 20 orang yang ditangkap dilakukan pemeriksaan secara terpisah. Masing-masing sebanyak dua orang dengan 2 penyidik di dalam satu ruangan.Kemudian mereka mulai diperiksa sejak pukul 23.30 – 01.30 WIB. Sebelum diperiksa, penyidik hanya menunjukkan ketapel, mandau, hingga senjata mirip pistol.
Penyidik tidak menjelaskan status hukum, alasan pemeriksaan yang sah, hinggatuduhan pasal yang dikenakan kepada mereka. Tak hanya itu, selama proses BAP, warga tidak didampingi penasihat hukum. Setelah berkas BAPdicetak, semuanya dipaksa untuk menandatangani. Salah satu orang yang ditangkap mengaku sempat melihat BAP yang dicetak berstatus hukum diperiksa sebagai saksi.Selain itu, terdapat juga harta-benda yang disita tanpa adanya surat perintah dan berita acara penyitaan. Hingga saat ini, menurut laporan tersebut, barang-barang itu belum dikembalikan dan tidak diketahui keberadaannya. ”Perlu digaris bawahi, bahwa berdasarkanketerangan yang kami peroleh dari warga, upaya paksa yang dilakukan tidak disertai dengan surat yang sah dari kepolisian,” demikian bunyi laporan tersebut.
Berdasarkan UU 8/1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), upayapaksa yang dilakukan kepolisian harus dilengkapi syarat-syarat formil, salah satunya surat perintah.Pengecualian terhadap syarat-syarat tersebut hanyadibolehkan jika upaya paksa dilakukan terhadap orang yang tertangkap tanganmelakukan tindak pidana. Pada kasus di Desa Bangkal, 20 warga yang ditangkap dan ditahan, menurut laporan tersebut, bukan orang yang tertangkap tangan melakukan tindak pidana. Merekaberkumpul karena diimbau dan dipanggil pihak kepolisian.
Hal tersebutmenunjukkan adanya itikad baik dari warga untuk mendengarkan himbauan polisi. Namun, setelah berkumpul aparat justru menangkap danmembawa mereka ke kantor polisi untuk menahan mereka tanpa menunjukkan suratpenangkapan dan penahanan. Setelah upaya paksa terhadap warga lalu mengambilketerangan warga, polisi dinilai tidak memberikan kesempatan kepada wargauntuk mengakses bantuan hukum atau didampingi oleh advokat/pengacara.Bantuan hukum merupakan hak warga negara agar mendapatkan akses terhadapkeadilan secara menyeluruh. Aparat penegak hukum termasuk kepolisian wajibmenjamin hak tersebut. Selain mengenyampingkan hak warga mendapatkan bantuan hukum, Tim Advokasi juga menyoroti kemungkinan kriminalisasi. Pada 14 Oktober 2023, tim menerimainformasi empat orang warga Desa Bangkal dipanggil sebagai saksi oleh kepolisian. Berdasarkan informasi, surat panggilan yang dilayangkan kepada warga bertujuanuntuk dimintai keterangan atas perkara tindak pidana penyerangan pada aparat yangsedang bertugas berdasarkan Pasal 160 KUHP,212 KUHP, dan 214 ayat (1) KUHP.
Selain ketiga pasal tersebut, warga juga ingin dimintai keterangannya atas perkaratindak pidana membawa senjata tajam berdasarkan UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951.”Berdasarkan pasal-pasal tersebut, patut diduga kepolisian ingin menjeratwarga Desa Bangkal dengan tindak pidana ’penyerangan terhadap aparat’ dan ’membawa senjata api.’ Menurut kami, sangkaan tersebut merupakan bukti adanyaupaya untuk men-tersangkakan warga desa. Mengingat pada peristiwa sebelumnyawarga Desa Bangkal dimintai keterangan tanpa adanya akses terhadap bantuanhukum, panggilan terhadap saksi-saksi juga memiliki potensi serupa dan risikoadanya kriminalisasi,” tulis laporan Tim Advokasi. Direktur Eksekutif Walhi Kalteng Bayu Herianata mengatakan, laporan tersebut disusun didasarkan pada investigasi awal yang dilakukan Tim Advokasi Solidaritas untuk Bangkal. Investigasi dilakukan dengan penelusuran dan pencarian fakta secara langsung pada 9-13 Oktober 2023.
”Temuan fakta yang dikumpulkan telah dikonfirmasi dengan berbagai dokumen, baik yang dikeluarkan resmi oleh pemerintah tingkat provinsi hingga pemerintah Desa Bangkal, perusahaan, pemberitaan media, serta pernyataan resmi dari pihak kepolisian. Dokumen tersebut dianalisis berdasarkan prinsip-prinsip hukum dan hak asasi manusia,” jelas Bayu.
Secara khusus, pihaknya mendesak Komisi Nasional Hak Asasi Manusia memulai penyelidikanmelalui pembentukan Tim Pencari Fakta (TPF). Tuntutan ini mendesak segera dilakukan,karena dari penelusuran tim, pihak kepolisian menunjukkan ketidak seriusannya mengungkap fakta peristiwa secara profesional. ”Sikap aparat kepolisian seakan dalam posisi pembela dan pelindung perusahaan,” kata Bayu. Terpisah, Ketua Tantara Lawung Mandau Talawang Kalteng Ricko Kristolelu mengatakan, kejadian berdarah itu secara tidak langsung membuka mata semua orang untuk menyaksikan posisi lemahnya masyarakat adat menuntut haknya ditengah ekspansi investasi. Disatu sisi, kurangnya keberpihakan pemerintah terhadap masyarakat adat yang menyebabkan kejadian tersebut.
Menurutnya, kasus penembakan tersebut harusnya mendapat reaksi keras dari masyarakat adat. Bahkan harus digaungkan secara nasional, sama seperti kasus pelecehan terhadap masyarakat adat Dayak yang pernah viral. ”Contohnya seperti kasus Edy Mulyadi melecehkan Kalimantan, semua berkoar dan demo. Tapi,ketika kasus penembakan ini, harusnya mendapatkan reaksi keras dari masyarakat adat. Padahal Edy Mulyadi hanya ucapannya saja,tapi dalam masalah ini masyarakat adat ditembak demi memperjuangkan hak mereka di tanah leluhurnya,” katanya. (tim)