Hasil investigasi dan rekomendasi terkait sengketa lahan di Desa Luwuk Bunter belum membuat warga puas. Konflik pertanahan itu berpotensi terus berlanjut, karena warga berniat mempertahankan lahannya dan bakal menolak kompensasi perkebunan sebagai ganti rugi tanam tumbuh. Meski perusahaan perkebunan PT Borneo Sawit Perdana (BSP) belum menyampaikan nilai kompensasi yang akan diberikan, warga memperkirakan nominal yang akan diberikan tak sesuai dengan kerugian dari pengelolaan lahan selama ini.
Aster Yansen, salah satu pemilik lahan menegaskan, akan tetap mempertahankan tanahnya bersama warga lainnya. Pihaknya tidak akan menyerahkan lahan yang sudah diusahakan tersebut kepada PT BSP. ”Kami akan pertahankan tanah kami, khususnya yang ada di dalam kawasan irigasi itu, karena memang kami mau hidup di situ,” tegas Aster, Rabu (8/11/2023). Kegaduhan lahan di areal irigasi itu mencuat setelah perusahaan melakukan perluasan di areal tersebut. Warga mengaku tak mengetahui lahan tersebut diberikan izin untuk perkebunan menggarapnya. ”Katanya HGU di dalam irigasi, padahal irigasi proyek pemerintah lebih dulu di situ. Kenapa bisa ada muncul izin di areal tersebut?” kata Aster Yansen.
Warga juga berencana akan bersurat kepada Bupati Kotim Halikinnor, meminta agar lahan mereka dikeluarkan dari areal perizinan PT BSP. Mereka tak rela lahannya diberikan pada perusahaan dan dilakukan ganti rugi dengan nilai tak sesuai. ”Kalau bahasanya sudah kompensasi atau tali asih, artinya apa? Tanah kami diambil dan perusahaan membayarnya dengan nilai mereka saja. Kalau kami di sini menyebutnya, buat beli bakso saja pas-pasan,” kata Sarwino, warga lainnya. Konflik itu sebelumnya telah ditangani pemerintah kecamatan setempat dengan membentuk tim investigasi. Dari penelusuran tim, ada indikasi tumpang tindih lahan di wilayah tersebut. Tumpang tindih terjadi dari surat-surat pertanahan yang dimiliki masing-masing pihak. Pada pemeriksaan 17 Oktober 2023, misalnya verifikasi fakta di lapangan atas klaim oleh kelompok Joni Cs terhadap lahan yang dibebaskan kelompok Asnuan, Arip Rahman, Syahrul Cs pada tahun 2022. Di titik area yang diperiksa terjadi tumpang tindih seluas 28,65 hektare.
Kelompok Asnuan, Arip Rahman, Syahrul Cs disebutkan menjual lahan itu dengan dasar kopian segel Surat Keterangan Hak Milik atas nama Aspurani Bin A Khartani yang diterbitkan di Desa Tinduk, 4 November 1991, oleh Kepala Desa Tinduk saat itu, Ramlan bin Anang Sean. Selanjutnya, verifikasi pada 26 Oktober 2023 dihadiri kelompok Aster Yansen Cs yang melakukan klaim atas lahan yang dibebaskan kelompok Juanda Cs pada 2023. Terjadi tumpang tindih seluas 64 hektare. Kelompok Aster Yansen mengklaim lahan itu dengan Surat Pernyataan Pengakuan Hak atas Tanah yang keluarkan Oktober 2010 oleh Kepala Desa Luwuk Bunter. Sedangkan kelompok Juanda berupa kopian Surat Keterangan Pengakuan Hak atas Tanah atas nama Saini yang dikeluarkan di Desa Sungai Paring, tanggal 6 Januari 2023.
Selanjutnya, verifikasi pada 30 Oktober 2023 antara kelompok Ungus M Rewa Cs dengan kelompok Syarkawi, Maisarah, Kapul Anwar, Ilham Rahman, Usman, dan Maskur Cs. Terjadi tumpang tindih seluas 25 hektare. PT BSP disebutkan telah memberikan ganti rugi tiga objek yang diverifikasi itu pada kelompok warga yang menjual lahan. Penjualan lahan itulah yang menjadi landasan perusahaan menggarap lahan tersebut, hingga memantik protes keras dari warga Luwuk Bunter.
Menurut Camat Cempaga Adi Chandra, dalam cek lapangan, lahan sengketa secara faktual dikuasai dan dikelola warga Desa Luwuk Bunter. Hal itu dikuatkan dengan bukti tanam tumbuh dan sebagian bukti surat. Hasil rekomendasi tim investigasi telah diserahkan secara resmi oleh pihak Kecamatan Cempaga kepada perusahaan. ”Penyelesaian yang kami tekankan dalam waktu satu pekan saja. Kami tidak ingin ada gesekan dan permasalahan saat pekerjaan di lapangan,” kata Adi.
Anggota DPRD Kotim Muhammad Abadi mendukung upaya masyarakat terus mempertahankan dan memperjuangkan haknya. Adapun solusi persoalan di Desa Luwuk Bunter, pihak perusahaan diminta mengurungkan niatnya menanam di lahan bermasalah tersebut, karena warga masih berupaya mempertahankan lahan itu sebagai tempat bergantung hidup.
”Saya kira persoalan ini mirip dengan Desa Tumbang Ramei. Pada intinya mereka tidak ingin menyerahkan tanah mereka untuk digarap. Jadi, solusinya, saya kira perusahaan harus menarik diri dari areal itu untuk menghindari konflik berkepanjangan,” katanya. Selain itu juga, lanjutnya, Pemkab Kotim bisa bersikap mencabut izin perkebunan di areal irigasi. ”Apa bedanya dengan di Tumbang Ramei. Masyarakat sudah menolak, selain itu areanya juga peruntukannya untuk ekonomi dan pertanian masyarakat, bukan untuk korporasi,” tegas Abadi. Manajer Humas PT BSP Rosi Andreas sebelumnya mengaku belum bisa mengambil keputusan terkait hasil temuan tim investigasi di lapangan. Dia akan menyampaikan hasilnya pada manajemen PT BSP. Dia juga menyebut perusahaan telah melakukan ganti rugi tanam tumbuh di lokasi tersebut. (ang/ign)