Deadline penetapan upah minimum provinsi (UMP) 2024 telah berakhir pada Selasa (21/11) lalu. Namun, masih ada empat provinsi yang belum menetapkan besaran UMP-nya. Salinan surat keputusan (SK) gubernur dari empat provinsi itu juga belum diserahkan kepada Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker). Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kemenaker Indah Anggoro Putri memerinci, empat provinsi tersebut adalah Kalimantan Tengah (Kalteng), Papua Barat, Papua Barat Daya, dan Papua Pegunungan.
Putri menyebutkan, hingga kemarin belum ada keterangan apa pun dari para gubernur yang belum menetapkan UMP-nya. Mereka juga belum mengajukan izin penundaan. ”Belum ada info,” ujarnya, singkat. Sebetulnya, provinsi hasil pemekaran masih mengikuti ketetapan dari provinsi induknya. Hal itu sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51 Tahun 2023 tentang Perubahan PP 36/2021 yang menegaskan bahwa penetapan UMP kali pertama sebesar nilai UMP induk. Artinya, besaran UMP 2024 untuk Papua Barat Daya dan Papua Pegunungan masih mengikuti provinsi induknya. Meski demikian, bukan berarti dua provinsi itu tidak perlu membuat SK baru. ”Tetap harus ditetapkan oleh gubernur dengan SK gubernur,” ungkapnya.
Putri menyatakan, bakal ada sanksi khusus yang diberikan. Namun, jenis sanksi menjadi kewenangan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). ”Ya, kami akan bersurat ke Kemendagri,” tegasnya. Surat itu juga akan menyinggung soal tiga provinsi yang penetapan UMP 2024-nya tidak sesuai dengan PP 51/2023. Sesuai data Kemenaker, kenaikan UMP 2024 tertinggi ada di Provinsi Maluku Utara dengan 7,50 persen. Disusul DI Jogjakarta 7,27 persen, Jawa Timur 6,13 persen, dan Sulawesi Tengah 5,28 persen. Sementara itu, kenaikan UMP 2024 terendah ada di Provinsi Gorontalo dengan 1,19 persen, disusul Aceh 1,28 persen, dan Sulawesi Barat 1,5 persen. Pada bagian lain, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani menegaskan, kalangan pengusaha menghormati keputusan soal besaran UMP. Dia meyakini bahwa penetapan nilai upah tersebut sudah sinkron dengan regulasi. ”Keputusan itu perlu kita hormati untuk diimplementasikan karena sudah sesuai dengan aturan dan kebijakan yang berlaku, sesuai PP Nomor 51 Tahun 2023,” urainya.
Shinta mengatakan, penetapan UMP dengan dialog bipartit selalu didorong Apindo. Dia berharap semua pihak menyikapi masalah UMP ini dengan kepala dingin. Sebab, tutur Shinta, salah satu semangat dari PP 51/2023 adalah memberikan kepastian hukum dalam berusaha dan berinvestasi di Indonesia. ”Dunia usaha mengharapkan penentuan upah minimum hendaknya terhindarkan dari politik praktis. Penetapan upah minimum hendaknya semata-mata dilandasi kepentingan pertumbuhan ekonomi dan kemajuan bangsa. Sehingga harus dijauhkan dari kepentingan politik sesaat menjelang Pemilu 2024. Kami juga berharap penetapan UMP sesuai PP terbaru dapat menggairahkan kembali upaya-upaya penciptaan lapangan kerja,” papar Shinta.
Sementara itu, pihak serikat pekerja/buruh mengaku kecewa atas penetapan UMP 2024. Mereka menganggap kenaikannya sangat jauh di bawah kebutuhan riil. ”Tidak sebanding dengan kenaikan gaji pegawai negeri sipil (PNS),” cetus Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal.
Kondisi tersebut, kata Iqbal, menimbulkan tanda tanya. Sebab, kenaikan gaji PNS bisa sampai 8 persen. Namun, untuk buruh dan pekerja, kenaikannya sangat kecil. Untuk DKI Jakarta saja, misalnya, UMP hanya naik sekitar 3,36 persen. Karena itu, sikap serikat buruh/pekerja tetap sama. Mereka menolak seluruh kenaikan UMP tersebut. ”Ini tidak sesuai keinginan kita, kenaikan sampai 15 persen. Ini akan berdampak pada mogok kerja nasional,” tegasnya. (agf/mia/c9/oni/jpg)