Publik kembali disuguhkan lemahnya penegakan hukum dalam kasus korupsi. Mantan Bupati Kapuas Ben Brahim S Bahat, terdakwa gratifikasi miliaran rupiah, lolos dari tututan delapan tahun empat bulan penjara. Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Palangka Raya hanya memvonis eks pucuk pimpinan Kabupaten Kapuas itu dengan hukuman lima tahun penjara. Setali tiga uang, sang istri, mantan anggota DPR RI Komisi III, Ary Egahni, juga luput dari tuntutan delapan tahun penjara. Dia dihukum empat tahun kurungan dipotong masa tahanan. Sidang yang berlangsung Selasa (12/12/2023) itu dipimpin Ketua Majelis Hakim Achmad Peten Sili.
Selain pidana pokok, Ben juga dijatuhi pidana denda Rp500 juta subsider pidana kurungan selama 3 bulan. Demikian pula tu, Terdakwa Ari Egahni dijatuhi pidana denda Rp 500 juta subsider 3 bulan penjara. Hakim menjatuhkan pidana tambahan berupa uang pengganti (UP) Rp6.591.326.393,00 dengan ketentuan selambat-lambatnya setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap. Jika dalam waktu tersebut terdakwa tidak mempunyai uang pengganti, harta bendanya disita dan dilelang.
Putusan lainnya, pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama lima tahun sejak para terdakwa selesai menjalani pidana. Dalam putusannya, Ben dan Ary terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi melanggar UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU Nomor 46 tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Merespons vonis tersebut, terdakwa maupun Jaksa Penuntut Umum KPK menyatakan pikir-pikir. Hakim memberikan waktu tujuh hari untuk menentukan sikap. Jika tidak memberikan jawaban, akan dianggap menerima putusan. Usai putusan dibacakan, isak tangis langsung pecah.
Adapun hal yang memberatkan Ben, menerima gratifikasi dari pengusaha. Hal itu merupakan awal dan biang tindakan melawan hukum berikutnya, seperti suap, pemerasan, konflik kepentingan, memperdagangkan pengaruh, dan lain-lain. Menurut Majelis Hakim, tindak pidana korupsi meminta dan menerima dan memotong kas mengakibatkan spiral korupsi. Sebagai pucuk pimpinan, Ben meminta uang kepada kepala dinas. Lalu kepala dinas meminta uang kepada pengusaha, pengusaha mendapatkan proyek dengan cara mengakali prosedur tender dan seterusnya. Pada akhirnya, uang yang berputar pada spiral korupsi tetap uang negara. ”Terdakwa mengelola pemerintahan daerah tidak berdasarkan pada prinsip-prinsip good goverment yang terdiri dari transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi, melainkan menggunakan pendekatan kekeluargaan yang sarat korupsi, kolusi, dan nepotisme,” kata Achmad Peten Sili.
Di sisi lain, hal yang meringankan Ben dan Ary Egahny, keduanya belum pernah dihukum. Para terdakwa kooperatif selama proses persidangan. Khusus Ben Brahim, memiliki karya intelektual berupa hak paten yang digunakan dalam proyek kenegaraan dan dapat menghemat pembiayaan negara. Menyikapi putusan itu, penasihat hukum Ben dan Ary, Regginaldo Sultan mengatakan, pihaknya akan mengambil sikap dalam tujuh hari ke depan untuk menyatakan sikap apakah banding atau menerima. Jika diukur dari pasal yang didakwakan ke kliennya, ancamannya minimal empat tahun dan maksimal 20 tahun atau seumur hidup.
”Vonis yang dijatuhkan sudah masuk ancaman yang paling minimal. Kami akan pikir-pikir dulu. Pokoknya dalam tujuh hari kami akan menyatakan sikap, banding atau menerima putusan,” tegasnya. (daq/ign)