Aksi penjarahan buah kelapa sawit yang belakangan ini kian marak, dinilai sebagai puncak banyaknya konflik masyarakat dengan perusahaan perkebunan yang belum selesai. Panen paksa secara massal tersebut bisa semakin meluas jika tak ditangani dengan cepat dan tepat. ”Solusi yang harus dilakukan adalah selesaikan semua konflik dengan perusahaan besar swasta yang ada. Sebab, persoalan yang tidak terselesaikan, membuat masyarakat menggunakan cara-cara tersebut,” kata Muhammad Abadi, salah satu tokoh pemuda di wilayah utara Kotim.
Abadi menuturkan, di wilayah pedalaman hampir 70 persen lahan sudah dikuasai perusahaan perkebunan. Akibatnya, tidak ada lagi lahan untuk masyarakat. ”Saya sepakat dengan Walhi Kalteng yang menyatakan kasus panen massal ini imbas penguasaan lahan yang timpang. Daerah dalam memberikan izin tidak pernah memikirkan dampak ini. Semakin kecil akses lahan masyarakat, maka semakin tajam juga konflik itu terjadi. Saat ini saya bisa katakan Kotim sudah berada di klasifikasi risiko tinggi,” ujar Abadi.
Selain itu, lanjut Abadi, pengerahan terhadap aparat yang dilakukan perusahaan juga seakan sudah tidak bisa diandalkan. Pasalnya, jumlah masyarakat yang melakukan aksi panen massal mencapai ratusan hingga ribuan orang. ”Salah satu PBS yang sempat saya lihat videonya dilakukan panen oleh warga, mungkin ada seratus kendaraan yang masuk,” katanya. Abadi menuturkan, penyelesaian terhadap konflik masyarakat ke depannya memang harus dilakukan. Tenaga kerja lokal harus diberdayakan dan program CSR betul-betul dilaksanakan. ”Kalau mau investasi ini tetap berjalan dengan baik, selesaikan semua kewajiban dan konflik pertanahan dengan warga di sekitarnya. Karena kalau sudah tidak ada konflik, saya yakin aksi penjarahan dan panen massal ini tidak ada ruangnya,” tegasnya.
Menurut Abadi, panen massal bisa saja meluas dengan skala lebih besar jika setiap wilayah belum ada penyelesaian yang tepat untuk konflik masyarakat. ”Penting diketahui, masyarakat ini jangan selalu diarahkan ke pengadilan. Penyelesaian sengketa di luar jalur pengadilan justru akan lebih arif dan bijaksana, serta tidak menyisakan masalah,” ujarnya.
Sebelumnya, Bupati Kotim Halikinnor mengatakan, penjarahan atau pencurian buah sawit masih sering terjadi. Karena itu, Pemkab Kotim akan mengambil langkah pencegahan. ”Kami masih memiliki beberapa hal yang belum terealisasi. Salah satunya terkait tuntutan plasma hingga penjarahan. Saya juga akan mengundang Gapki, bagaimana menyikapi masalah ini,” kata Halikinnor, beberapa waktu lalu. Rencana pertemuan itu juga untuk mengetahui penyebab maraknya penjarahan dan langkah yang diambil. Apalagi Kotim merupakan salah satu daerah yang memiliki perkebunan sawit terluas di Kalteng. Halikinnor tak ingin Kotim tidak aman lagi untuk dunia investasi akibat penjarahan.
”Penjarahan ini apakah perkebunan yang belum memenuhi kewajibannya secara maksimal kepada masyarakat atau lainnya, kami akan bahas. Tapi, penjarahan ini juga terjadi di kebun masyarakat. Kami sudah membentuk tim khusus untuk menangani ini, tapi akan lebih diperluas lagi setelah rapat itu,” katanya. (ang/ign)