SAMPIT - Sebanyak 16 desa di Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) ditetapkan sebagai lokus stunting. Desa-desa tersebut berada di wilayah Kecamatan Telaga Antang, Kotabesi, Mentaya Hulu, Baamang, Bukit Santuai, Cempaga, Cempaga Hulu, Tualan Hulu, Pulau Hanaut, Antang Kalang, Mentaya Hilir Selatan.
"Disepakati untuk tahun 2025 sebanyak 16 desa yang ada di beberapa kecamatan di Kotim ditetapkan sebagai lokus stunting," kata Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DPPPAPPKB) Kotim Imam Subekti dalam acara Rembuk Stunting di aula Bapperida Kotim, Selasa (7/5).
Desa yang ditetapkan sebagai lokus stunting tahun 2025 diantaranya Desa Tumbang Boloi, Pamalian, Kawan Batu, Tanah Mas, Tumbang Batu, Tumbang Tilap, Tukang Langit, Tumbang Tawan, Sudan, Cempaka Mulia Timur, Tumbang Mujam, Babirah, Hanaut, Tumbang Sapia, Buntut Nusa, Basirih Hulu.
"Kita melakukan rembuk stunting dalam rangka mencarikan solusi. Jadi kalau sesuai dengan hasil Survei Kesehatan Indonesia (SKI), kita ada kenaikan dari 27 persen menjadi 35 persen, jadi 7,6 persen kenaikannya. Bukan berarti kita tidak melakukan penanganan stunting, jadi kita tetap bergerak, kita tetap melakukan kegiatan penanganan stunting," kata Imam.
Berdasarkan data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdes) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2018, angka prevalensi stunting di Kabupaten Kotim sebesar 48,84 persen tertinggi di Kalimantan Tengah (Kalteng) tetapi pada tahun 2022 mengacu kepada data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia angka prevalensi stunting di Kabupaten Kotim sebesar 27,9 persen dan berdasarkan hasil SKI tahun 2023 angka prevalensi stunting naik menjadi 35,5 persen.
"Untuk program Gerebek Stunting kemarin data masih dikumpulkan jadi, kita belum bisa menganalisa gerakan kita yang di bulan Desember kemarin sampai di bulan maret ini, datanya masih dikumpulkan. Jadi beberapa kegiatan yang kemarin sudah kita lakukan nanti kita akan analisa. Tim nanti akan memberikan jawaban itu supaya nanti apa yang sudah kita lakukan ini bisa efektif atau tidak," terangnya.
Dengan pendataan yang lebih masif, angka stunting ada kemungkinan bisa naik, bisa turun. Sebab, kasus di lapangan tidak semuanya ada di aplikasi elektronik-pencatatan dan pelaporan gizi berbasis masyarakat (E-PPGBM).
"Contohnya adalah balita itu ada 10 di satu desa, tetapi yang datang ke posyandu cuma lima, berarti yang kita catat cuma lima saja, yang lima itu kita tidak tahu apakah stunting atau tidak. Kebetulan kalau lima itu kena sampel SKI, otomatis akan masuk di data SKI," terangnya.
Pemerintah Kabupaten Kotim terus berupaya menekan angka stunting dengan melaksanakan pencegahan secara terintegrasi dengan melibatkan seluruh sektor dan sumber daya yang tersedia.
"Apabila dilihat lebih dalam, masih banyak kasus stunting baru terjadi pada usia di bawah 2 tahun yaitu saat bayi baru lahir dan pada usia 12 sampai 23 bulan," terangnya.
Menurutnya, masa itu ditentukan oleh mutu kehamilan ASI eksklusif, makanan pendamping ASI, imunisasi lengkap, akses sanitasi dan air bersih serta deteksi dini masalah gizi dan intervensinya melalui pemantauan pertumbuhan bulanan di posyandu.
"Pemerintah terus memperbaiki pelayanan kehamilan dan pelayanan balita melalui penyediaan USG, artropometri serta penguatan posyandu," tuturnya.
Berdasarkan target pemerintah pusat data bayi dan balita yang terinput dalam dalam aplikasi E-PPGBM, setiap bulannya minimal 60 persen, namun rata-rata data yang masuk ke aplikasi E-PPGBM setiap bulannya pada tahun 2023 hanya sebesar 30 persen, artinya belum mencapai target pemerintah pusat.
Karena itu, perangkat daerah terkait beserta jajarannya diharapkan dapat memaksimalkan inputan data bayi dan balita ke dalam aplikasi E-PPGBM, sebagaimana target pemerintah pusat sehingga dapat mengetahui secara pasti jumlah dan sebaran prevalensi stunting di Kabupaten Kotim. (yn/yit)