SAMPIT-Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) Muhammad Abadi mendesak agar pemerintah membeberkan ke publik, terkait program pengampunan bagi areal lahan perusahaan besar swasta (PBS) yang masuk dalam kawasan hutan.
Menurutnya, pemerintah harus bisa memberikan penjelasan kepada publik mengenai mekanisme penyelesaiannya, sehingga tidak terkesan hanya masyarakat yang selama ini kerap dihantui dengan tuduhan pengrusakan hutan.
“Alih-alih korporasi mendapatkan saksi sesuai dengan Undang-Undang Kehutanan dan Undang-Undang Perusakan Hutan dan Lingkungan Hidup, justru saat ini adanya pengampunan bagi korporasi yang menggarap kawasan hutan. Public tidak mendapatkan informasi yang utuh, kami mendorong pemerintah daerah bisa mengungkapkan perusahaan mana saja yang terkena skema denda yang disanksi karena menggarap hutan,”ujar Muhammad Abadi, kemarin.
Dibeberkannya, terkait soal kawasan hutan ini, Kementrian Lingkungan dan Kehutanan (KLHK) menyebutkan bahwa secara nasional ada 3,37 juta hektare kebun kelapa sawit di Indonesia berada dalam kawasan hutan. Terbagi atas 1.497.421 hektare berada di kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT), 1.128.854 hektare di kawasan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi (HPK), 501.572 hektare berada di Hutan Produksi Tetap, 155.119 hektar berada di Hutan Lindung dan 91.074 hektar berada di Hutan Konservasi.
Abadi melanjutkan, untuk mengurai permasalahan kebun kelapa sawit dalam kawasan hutan itu, pemerintah sebelumnya telah melahirkan Undang-Undang Nomor Nomor 11 Tahun 2020 atau yang familiar dengan sebutan Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK). Skema penyelesainnya yakni dengan pasal 110A dan 110B yang ditargetkan selesai hingga 2 November 2023 lalu.
Dibeberkannya pula, pada Pasal 110A; adalah perkebunan kelapa sawit yang telah terbangun, mempunyai izin usaha perkebunan, dan sesuai tata ruang pada saat izin diterbitkan, namun statusnya saat ini berada pada kawasan hutan produksi, kawasan hutan lindung, dan kawasan hutan konservasi.
Sementara Pasal 110B; mengatur mengenai penyelesaian perkebunan kelapa sawit yang telah terbangun di dalam kawasan hutan produksi, kawasan hutan lindung, dan kawasan hutan konservasi namun tidak mempunyai perizinan di bidang kehutanan.
“Tetapi di satu sisi masyarakat yang berkebun satu dua hektare ditakut-takuti menggarap kawasan hutan. Masyarakat mana tahu status kawasan dan lain sebagainya, apalagi mereka kebanyakan menguasai lahan secara turun temurun,”pungkas Muhammad Abadi.(ang/gus)