SAMPIT – Dua bangunan bersejarah yang menyimpan jejak peradaban dan perjuangan masyarakat Kotawaringin Timur (Kotim) kini diperjuangkan untuk mendapat pengakuan lebih tinggi sebagai bangunan cagar budaya tingkat provinsi dan nasional. Dua bangunan itu adalah Huma Betang Tumbang Gagu di Kecamatan Antang Kalang dan Rumah Tua Kai Jungkir di Kecamatan Baamang. Keduanya telah ditetapkan sebagai cagar budaya tingkat kabupaten, dan kini diajukan untuk mendapat pengakuan yang lebih luas.
“Status cagar budaya nasional akan membuka akses perhatian lebih besar dari pemerintah pusat, baik dalam aspek pelestarian maupun pembinaan,” ujar Kepala Disbudpar Kotim Bima Ekawardhana, Selasa (13/5).
Bima mengungkapkan, pihaknya telah menyiapkan dokumen pendukung berupa sinopsis dan sejarah dua situs tersebut untuk diajukan ke tim ahli cagar budaya provinsi. Setelah proses penilaian rampung, langkah berikutnya adalah pengajuan ke tingkat nasional.
Namun, kondisi fisik kedua bangunan dinilai memprihatinkan. Rumah Tua Kai Jungkir, misalnya, membutuhkan renovasi hingga 40 persen lantaran banyak bagian bangunan yang telah lapuk dan roboh. Sementara itu Huma Betang Tumbang Gagu memerlukan perbaikan sekitar 20 persen.
“Renovasi tidak bisa dilakukan sembarangan. Harus ada koordinasi dengan Balai Pelestarian Cagar Budaya di Palangka Raya agar struktur asli tetap terjaga,” jelas Bima.
Menurut Bima, tingkat kunjungan wisatawan ke situs-situs ini masih rendah. Rumah Tua Kai Jungkir kerap dipandang sekadar rumah tua biasa. Padahal, bangunan yang berdiri sekitar tahun 1946–1947 itu merupakan peninggalan Kai Jungkir, tokoh berpengaruh dalam sejarah berdirinya Kota Sampit.
Sementara itu, Huma Betang Tumbang Gagu yang merupakan rumah adat Dayak Ngaju yang dibangun tahun 1870 oleh enam kepala keluarga, merupakan simbol kehidupan komunal, toleransi, dan nilai budaya masyarakat Dayak. Rumah sepanjang 47 meter dan lebar 15 meter ini berdiri di atas lahan seluas 1,4 hektare di Desa Tumbang Gagu, dan tercatat sebagai rumah betang tertua di Kotim.
“Kalau sudah diakui sebagai cagar budaya nasional, pengelolaan bisa lebih profesional dan mendatangkan lebih banyak wisatawan. Ini penting untuk membangun kesadaran dan kebanggaan masyarakat terhadap sejarahnya sendiri,” tutup Bima. (yn/yit)