SAMPIT – Perkembangan kapal feri di wilayah selatan Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) sejak beberapa tahun ini menjadi perhatian serius Dinas Perhubungan. Selain minimnya standar keselamatan yang digunakan pemilik kapal, tarif untuk sekali angkut kendaraan dan penumpang juga dinilai cukup mahal dibanding di perkotaan.
Pantauan Radar Sampit, keberadaan kapal feri untuk angkutan kendaraan dan penumpang tidak hanya di Pasar Samuda, bahkan sudah merambah ke desa di Kecamatan Mentaya Hilir Selatan (MHS). Salah satunya di Desa Sei Ijum Raya (Sejura).
Namun disayangkan, dermaga yang dibangun di atas lahan milik Dinas Perikanan Kabupaten Kotim itu sebenarnya digunakan untuk pangkalan pendaratan ikan (PPI), justru faktanya untuk penyeberangan kendaraan dan penumpang.
Kepala Dishub Kotim H Fadlian Noor mengatakan, pihaknya akan meminta kepada Bupati Kotim H Supian Hadi untuk mengeluarkan kebijakan melalui peraturan bupati (perbup) terkait pengelolaan aturan kapal feri di desa dan pelosok.
”Kita tidak melarang masyarakat menggunakan kapal besarnya sebagai kapal feri. Tapi, kita inginkan mereka mengikuti aturan pemerintah kabupaten yang berlaku, misalnya wajib memenuhi standar keselamatan penumpang maupun tarif untuk sekali menyeberang, serta kapasitas jumlah kendaraan,” ujarnya, akhir pekan tadi.
Perbandingan tarif kapal feri di perkotaan dan desa, menurut Fadlian, memang sangat mencolok. Misalnya, di perkotaan, sekali mengangkut satu kendaraan beserta penumpangnya hanya Rp 5 ribu. Sedangkan tarif di wilayah selatan, misalnya di pelabuhan Dishub Pasar Samuda, Kecamatan MHS menuju desa-desa di Kecamatan Pulau Hanaut, termasuk di Desa Sejura, dipatok sebesar Rp 15 ribu.
Dengan perbandingan yang cukup mencolok itulah, kata Fadlian, akan sangat tepat apabila dibuatkan perbup baru. Dalam peraturan tersebut penekanannya, meskipun kapal feri dikelola masyarakat, tetap akan menyesuaikan aturan pemkab.
”Kapal feri tidak hanya memperhatikan standar keselamatan, baik kendaraan dan penumpang. Pemilik kapal juga wajib mengurus perizinan dan asuransi,” tegas Fadlian.
Terkait izin, tambah dia, sesuaikan dengan kapasitas kapal, misalnya di atas 7 GT, dikeluarkan melalui Badan Penanaman Modal Daerah Provinsi (BPMDP) Kalteng,, sedangkan 7 GT hanya melalui kabupaten.
”Saya lihat kapal feri di wilayah selatan ini rata-rata di atas 7 GT. Artinya, pemilik wajib mengurus izin ke Pemprov Kalteng di Palangka Raya,” saran dia.
Ke depannya, Fadlian menambahkan, kapal feri juga tidak sembarangan menurunkan kendaraan dan penumpang di pelabuhan tanpa mengantongi izin resmi. Sebab, terutama di Kecamatan MHS dan Pulau Hanaut, sudah ada beberapa standar pelabuhan Dishub yang dibangun dan resmi.
“Standar pelabuhan sebaiknya gunakan dermaga yang telab dibangun oleh Dishub karena telah memenuhi standar dan resmi,” pungkasnya. (fin/ign)