SAMPIT - Perayaan Imlek tahun ini di Sampit memang tampak kurang gaungnya. Hal ini dikarenakan banyak warga keturunan Tionghoa yang memilih merayakan Imlek di luar kota, seperti Surabaya. Pada puncaknya nanti, yakni pada perayaan Cap Go Meh, warga akan kembali meninggalkan Kota Sampit. Biasanya pada Cap Go Meh warga keturunan Tionghoa memilih perayaan di Singkawang, Kalimantan Barat.
Meski begitu, Rohaniawan umat Konghucu di Kota Sampit Xuenshi Suhendar,mengaku tetap bersyukur, kini sudah tidak ada diskriminasi terhadap mereka. Terlebih bagi agama Konghucu. Mereka lebih percaya diri untuk bersosialisasi dengan masyarakat lainnya. Berbeda dengan 32 tahun lalu, saat rezim orde baru.
Saat rezim orde baru, warga keturunan Tionghoa didiskriminasi, khususnya bagi yang beragama Khonghucu. Karena itu, tak jarang banyak yang terpaksa mengaku beragama lain hanya untuk memperoleh status sebagai Warga Negara Indonesia (WNI).
Berdasarkan data Matakin Kotim, ada sebanyak 253 warga Kotim yang beragama Khonghucu, terdiri dari 134 orang perempuan dan 119 orang laki-laki. Keberadaanya tersebar di kota maupun di luar Kota Sampit.
Saat ini, muncul kegelisahan baru, generasi beragama Konghucu semakin tergerus seiring berjalannya waktu, sehingga tradisi nenek moyang dikhwatirkan tidak ada yang meneruskan. Seperti di momentum Imlek ini, pengurus klenteng, kadang terpaksa harus mendatangkan dari luar Kota Sampit.
”Generasi muda kami di Sampit cuma sisa enam hingga tujuh orang. Saya rasa perayaan di Sampit tidak akan meriah,” kata pria yang juga pengurus Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin) Kotim ini.
Seperti diketahui, pantauan koran ini di beberapa vihara di Kota Sampit, seperti Vihara Avalokitesvara di Jalan Kopi, dan Vihara Dharma Mula di Jalan Jenderal Sudirman, Gang Putir Busu,Sampit, tampak sepi kegiatan. Persiapan Imlek hanya dilakukan seminggu sebelum Imlek, dengan ditandai pembersihan rupang atau patung dewa. (oes/ign)